A.
PENDAHULUAN
Wakaf adalah salah
satu lembaga Islam yang sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi
masyarakat. Di beberapa negara yang telah mengembangkan wakaf secara produktif,
misalnya Mesir, Turki, Yordania, wakaf sangat berperan dalam memajukan bidang
pendidikan, kesehatan, penelitian, pengentasan kemiskinan, peningkatan ekonomi
umat, dan lain sebagainya.
Meskipun dalam
sejarah wakaf telah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan
masyarakat, namun hasil studi tentang pengelolaan wakaf akhir-akhir ini
menunjukkan masih adanya wakaf yang kurang memberi dampak positif karena tidak
dikelola dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan karena terjadinya
mismanajemen, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan harta wakaf. Sebagai
akibatnya ada negara yang hasil pengelolaan harta wakafnya menurun sehingga
tidak cukup untuk memelihara aset harta wakaf yang ada, apalagi untuk memberikan
manfaat kepada fakir miskin, atau dengan kata lain tidak dapat meraih tujuan
yang ditetapkan wakif. Berkenaan dengan kondisi tersebut, banyak ilmuwan yang
mengkaji kembali strategi pengelolaan wakaf, dengan harapan di masa yang akan
datang wakaf dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Bagi negara yang
wakafnya kurang berkembang, pada umumnya pemerintah dan ilmuwan setempat
mengkaji faktor yang menyebabkannya. Setelah diketemukan faktor penyebabnya,
negara-negara tersebut menyusun strategi dan kebijakan untuk mengembalikan
fungsi wakaf sebagaimana mestinya, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Di beberapa negara hasil wakaf pada umumnya selain dipergunakan untuk
kepentingan keagamaan, meningkatkan ekonomi umat, kesehatan, pendidikan, juga
dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk menyediakan air minum di
pusat perbelanjaan, membangun jalan, menyediakan sarana dan prasaran umum
lainnya. Begitu pentingnya wakaf untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
dihadapi umat, maka pada saat ini wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang
menjadi bahan kajian bagi para ilmuwan. Kajian wakaf tersebut tidak hanya di
sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam, tetapi juga
perguruan-perguruan tinggi umum, bahkan di Barat masalah wakaf sudah mendapat
perhatian khusus bagi para cendekiawan. Hal ini disebabkan karena wakaf
merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial, sehingga perlu digali
dan dikembangkan.
Oleh karena itu, pemakalah merasa tertarik dengan
permasalahan kali ini mengenai sejarah pengelolaan wakaf di masa modern yang
berlangsung sejak 1800M sampai dengan sekarang dan diawali dari runtuhnya
kekuasaan Turki Utsmani.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Wakaf
Kata
“wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa” yang
artinya “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat”.
Kata “waqafa (fiil madi) -yaqifu (fiil mudari)-waqfan
(isim masdar) sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan”
artinya mewakafkan.[1] Disebut menahan karena
wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai
dengan tujuan wakaf. Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat dan
hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak
atas wakaf tersebut.[2]
Para
ahli fiqh mempunyai pandangan yang berbeda terhadap definisi wakaf. Berikut beberapa definisi wakaf menurut
ulama fiqh[3]:
a.
Menurut Mazhab Syafi’i dan
Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan baik menjual, menghibahkan
atau mewariskan kepada siapapun.
b.
Menurut Mahzab Hanafi,
wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam
rangka mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut
maka kepemilikan atas benda wakaf tetap menjadi milik si wakif dan yang timbul
dari wakif hanyalah menyedekahkan manfaatnya untuk digunakan oleh
penerima wakaf.
c.
Menurut Mazhab Malikiyah,
wakaf adalah tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,
namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan
manfaat serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
d.
Ahmad Azhar Basyir
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaannya yang
dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah.[4]
Sedangkan menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004
dijelaskan bahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.”[5]
Dari berbagai rumusan
pengertian tentang wakaf, dapat diartikan bahwa wakaf adalah menyerahkan suatu
hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau Nazhir (pemelihara atau
pengurus wakaf) atau kepada suatu badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil
atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda
yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan dan bukan pula
milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi milik Allah SWT.
2. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar
disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al-Qur’an dan
juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan
tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah tentang pemahaman konteks terhadap ayat
Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami
berkaitan dengan wakaf sebagai amal kebaikan di antaranya terdapat dalam
Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 92 :
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ
مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ
فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS : Al Imran : 92)[6]
Kemudian dalam Surat Al-
Baqarah ayat 261 :
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ
فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ
سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ
وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Artinya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS: Al-Baqarah :261)[7]
Dari pengertian di atas tersirat makna
perintah memberikan sebagian dari hasil usaha yang halal dan terbaik untuk kepentingan
umum di luar kepentingan pribadi. Artinya, urusan Islam secara umum mendapat
perhatian lebih. Perhatian itu tesirat dari harta yang diberikan adalah yang
terbaik, pilihan, dan halal. Hal ini bertentangan dengan kenyataan yang banyak
terjadi. Sedekah, baik sedekaah waib maupun sedekah sunnah (termasuk wakaf)
banyak yang diambil dari harta yang tidak produktif dan efektif.
Selain
itu, berikut ini beberapa dasar hukum wakaf yang terdapat dalam As-Sunah
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ اَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابْنُ سَعِيْدٍ زَابْنُ حُجْرٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا اِسْمَعِيْلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ اْلعَلاَءِ عَنْ
اَبِيهِ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قَالَ اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَا نُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَه. (رواه مسلم)
Artinya :”Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah yaitu Ibnu Sa’id dan ibnu
Hujr mereka berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ismail-yaitu Ibnu Ja’far
dari Al-‘Ala’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda
:”Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya
kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak
shalih yang selalu mendoakannya. (HR : Muslim)[8]
Selanjutnya
hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى الَّتَمِيْمِيُّ اَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ اَخْضَرَ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : اَصَابَ عُمَرُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ
فَاَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا
فَقَالَ يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنِّي اَصَبْتُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ اُصِبْ
مَالاً قَطُّ هُوَ اَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ اِنْ
شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ
اَنَّهُ لاَ يُبَاعُ اَصْلُهَا وَلاَ يُبْتَا عُ وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْهَبُ
قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي اْلفُقَرَاءِ وَفِي الرِّقَا بِ وَفِي سَبِيْلِ
اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَجُنَا حَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا اَنْ
يَأْكُلَ مِنْهَا بِا لْمَعْرُوْفِ اَوْيُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
فِيْهِ.(رواه مسلم)
Artinya :”Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi telah mengabarkan kepada
kami Sulaim bin Ahdlar dari ibnu ‘Aun dari Nafi’dari Ibnu Umar dia berkata :”
Umar mendapatkan bagian tanah perkebunan di Khaibar, lalu dia datang kepada
Nabi SAW dan meminta saran mengenai bagian tersebut, dia berkata, “Wahai
Rasulullah, saya mendapat bagian tanah perkebunan di Khaibar, dan saya belum
pernah mendapatkan harta yang sangat sebaik kebun itu, maka apa yang anda
perintahkan mengenai kebun tersebut?” beliau menjawab :”Jika kamu mau, maka
peliharalah pohonnya dan sedekahkanlah hasilnya. “Ibnu Umar berkata :”Umar
menyedekahkannya, tidak dijual pohonnya dan hasilnya, tidak diwariskan dan
tidak dihibahkan.”Ibnu Umar melanjutkan :“Umar menyedekahkan hasilnya kepada
orang-orang fakir, karib kerabat, pemerdekaan budak, dan sabilillah, ibnu sabil
dan untuk menjamu tamu. Dan dia juga membolehkan orang lain untuk mengolah
kebun tersebut dan memakan dari hasil tanamannya dengan sepantasnya, atau
memberi makan temannya dengan tidak menyimpannya.” (HR: Muslim)[9]
Dilihat
dari beberapa ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang menyinggung tentang
wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali
hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga
ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan
ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis
wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun
demikian, ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para
ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas
dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum
(ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam
ditetapkan sebagai hasil ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan
lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini
sangat identik dengan shadaqah jariyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki
pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan
manusia.
Oleh
karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi,
maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran
baru, dinamis, futuristik
(berorientasi pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari ajaran
saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari
muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan
ekonomi lemah.
Memang
ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang
bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu
besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak.
Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi,
dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan
pengelolaannya secara optimal.[10]
3.
Sejarah Wakaf Pada Masa
Modern
Dalam sejarah
Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan
setelah Nabi SAW ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang
berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang
siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat
ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah
SAW yakni wakaf milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Kemudian Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh
kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah
dan kebun lainnya.
Pendapat ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin
Mu’ad, ia berkata: dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad
bin Muad berkata: “kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang
Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan
adalah wakaf Rasulullah SAW”.[11]
Menurut pendapat sebagian ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf ialah Umar bin
Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. sebagaimana
yang telah diterangkan pada hadis Riwayat Muslim No.1632 sebelumnya.
Sejarah pelaksanaan syariat wakaf terus berkembang dan
diteruskan sejak masa Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh pada masa
sahabat (khulafaur rasyidin), kemudian dinasti-dinasti Islam lainnya hingga
runtuhnya negara Turki Usmani.
Di zaman
kesultanan Utsmaniyah dikenal dengan sebutan Turki Utsmani atau Devlet-i
‘ Aliyye-yi Osmaniyye pengelola wakaf semakin berkembang. Diantara
undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang
pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir
tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf,
sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan
melembagakan wakaf dalam upaya Realisasi wakaf dari sisi administrasi dan
perundang-undangan. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan turki Utsmani dan
tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf.
Pasca
kekuasaan Turki Utsmani (1924 M) Wakaf, dinegara-negara Islam maupun di
negeri-negeri Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
pemikiran para pakar/ ahli
hukum Islam.
Meskipun perkembangan wakaf di berbagai negara muslim
mengalami pasang surut, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik di
masing-masing negara. Berikut ini kami paparkan perkembangan wakaf secara
spesifik pada beberapa negara muslim pada masa modern, yang mewakili beberapa kawasan
Arab Saudi (Timur Tengah), Mesir (Afrika), Turki (Eropa), dan Pakistan (Asia
Selatan) serta
Indonesia (Asia Tenggara).
a.
Pengelolaan
Wakaf di Arab Saudi
Negara Arab Saudi berdiri pada tahun 1924 dengan nama al-mamlakah al-Arabiyaal- Su’udiyah atau Kerajaan Arab Saudi,
yang telah menguasai daerah Hijaz di Barat.Proklamasi pendiriannya dilakukan
oleh Abdul Aziz ibn Saud, yang secara umum disiarkanmelalui surat kabar
pemerintah Umm al-Qurra terbit
pertama pada tanggal 17 Desember1924. Namun demikian, 22 tahun sebelumnya atau
bertepatan tahun 1902, Abdul Aziz baru menguasai daerah Nejed di Utara dengan
ibu kota di Riyadh[12],
sedangkan daerah Baratmasih dikuasai Dinasti Utsmani. Abdul Aziz berkuasa dari tahun 1902 sampai
tahun 1953,dan menjadi pengikut aliran Wahabi.
Negara
ini menganut sistem kerajaan, raja memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan,
pemasukan utama negara ini, berasal dari minyak bumi yang banyak terkandung di dalam perut buminya,
yang mulai ditemukan pada tahun 1938.
Setelah
Abdul Aziz berkuasa, banyak kebijakan yang dikeluarkannya untuk menata pemerintahannya. Dalam masalah agama, ia
menata pelaksanaan haji, sedangkan regulasi wakaf
secara khusus baru diatur oleh penerusnya pada beberapa tahun berikutnya, yaitu Ketetapan No. 574 Tahun 1386 H. bertepatan
dengan 1966 M. tentang Majelis Tinggi Wakaf.[13]
Lembaga ini diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf,
anggotanya terdiri dari Wakil Kementrian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari
Kementrian Kehakiman, wakil dari Kementrian Keuangan dan Ekonomi, Direktur
Kepurbakalaan serta tiga anggota darikalangan cendikiawan dan wartawan. Jika
dilihat dari sisi politik, tentu mereka berasal dari ideologi yang sama dengan
penguasa.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Majelis Tinggi Wakaf
memiliki wewenang antara lain: mendata harta wakaf serta mengetahui kondisinya
dan menetapkan teknikpengelolaannya; menentukan langkah-langkah pengembangan,
termasuk dalam penanaman modal dan peningkatan
harta wakaf; melakukan distribusi harta wakaf sesuai dengan
tuntutan syari‟at;
menetapkan anggaran tahunan dalam pengelolaan wakaf; serta menyusun dan membuat laporan pengelolaan wakaf.[14]
Dilihat
dari bentuknya, wakaf di negara ini ada bermacam-macam, di antaranya bangunan, seperti hotel, tanah, bangunan atau
rumah untuk penduduk, pertokoan,perkebunan, serta tempat ibadah. Ada juga jenis
wakaf tertentu yang hasilnya diperuntukkan
bagi pemeliharaan dan pembangunan masjid al-haram di kota Makkah dan masjid Nabawi di kota Madinah, seperti
bangunan untuk penginapan bagi jemaah haji.
Untuk membantu Majelis Tinggi dalam menjalankan
wewenangnya, Kerajaan Arab Saudi juga mengangkat nazir, sebagai pengelola
wakaf. Hal ini menunjukkan keseriusan negara ini dalam mengelola wakaf.
b.
Pengelolaan
Wakaf di Mesir
Secara geografis, Mesir terletak di wilayah benua Afrika
yang berbatasan dengan Jazirah Arab, namun mayoritas penduduknya merupakan
etnis Arab, yang sudah ada jauh sebelum negara ini merdeka dari Prancis.
Pemerintahannya menganut sistem republik yang dipimpin oleh seorang presiden
yang dipilih langsung oleh rakyatnya.
Mesir merupakan salah contoh negara yang sangat baik
dalam mengelola wakaf, khususnya pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan al-Azhar, sampai abad ke-19 hampir separuh dari tanah
di Mesir dikelola oleh lembaga wakaf al-Azhar. Salah satu jenis wakaf
yang menarik untuk dikaji di negara ini adalah polemik seputar wakaf keluarga.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan wakaf keluarga ini sudah ada jauh
sebelum agama Islam lahir, lalu kebiasaan ini diteruskan sampai era modern.
Pada awal abad 20 wakaf di Mesir dikelola oleh sebuah
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dengan nama Diwan al-Awqaf, yang berwenang mengatur dan mengurus harta wakaf. Dalam perkembangannya, pada tanggal 20
November 1913, lembaga ini meningkat statusnya
menjadi departemen, sehingga wakaf
di Mesir diurus langsung oleh KementrianWaqaf (Wazarah al-Awqaf)
Pada
masa modern, dua tahun setelah revolusi Mesir yang terjadi pada 1925[15], regulasi wakaf keluarga di negera ini
mulai diatur dengan peraturan tahun 1927 tentang wakaf keluarga. Dalam perkembangannya, wakaf ini terus mengalami pro dan
kontra, yang jauh sebelumnya memang sudah terjadi sikap pro dan
kontra, lalu keluar lah Peraturan
tahun 1946, yang menyatakan
bahwa peraturan tentang wakaf keluarga
bersifat sementara.
Salah satu alasan bagi kelompok yang menuntut penghapusan
wakaf keluarga ini adalah karena wakaf keluarga tidak memiliki implikasi
terhadap sedekah. Pendapat
ini dibantah oleh mereka yang mendukung, dengan alasan bahwa banyak perbuatan para sahabat yang menyalurkan harta wakaf kepada
kerabat dekatnya. Selain itu banyak hadits yang
menyatakan bahwa bersedekah kepada keluarga dekat lebih diutamakan, baru kepada kalangan lainnya. Hal ini juga diperkuat
oleh pendapat dari para ulama fikih.
Dikarenakan sikap pro dan kontra terhadap wakaf keluarga
semakin memuncak, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan nomor 180 tahun
1952, yang menyatakan bahwa legalitas wakaf keluarga dihapus, status wakaf
keluarga menjadi wakaf bebas dan tidak terikat. Pada akhirnya, wakaf di negara ini hanya terbatas pada
wakaf umum saja,yang diperkuat dengan Peraturan nomor 347 tahun 1953 tentang
Wakaf Umum.
Pada
tahun tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan nomor 547 tahun 1953 yang menyatakan bahwa Kementrian wakaf
berwenang mengurus wakaf. Lalu berturut-turut,
pada beberapa tahun berikutnya pemerintah terus mengeluarkan peraturan tentang wakaf. Pada tahun 1954 keluar
Peraturan nomor 525 tentang pembangian pembagian
hasil wakaf, kemudian pada tahun 1957 keluar lagi Peraturan
No. 18 tentang pembagian
harta wakaf kepada mustahik.
Kemudian pada tahun 1971 keluar Peraturan Nomor 80
tentang Badan Wakaf. Badan ini memiliki beberapa wewenang di antaranya melakukan
perencanaan pengelolaan wakaf, mendistribusikan harta wakaf, mengembangkan
harta wakaf yang telah dikumpulkan, dan menyusun laporan pertanggungjawaban
pengelolaan wakaf. Berdasarkan Qanun Mesir, benda yang diwakafkan tidak
terbatas pada benda yang tidak bergerak saja, tapi juga benda-benda yang bergerak.[16]
Yang
menarik dari kasus perundang-undangan tentang pengaturan wakaf di Mesir adalah
dinamika hukumnya yang cepat berubah menyesuaikan perkembangan zaman, yang berbasis pada perkembangan sosial budaya masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum
Islam di Mesir sangat dinamis bila dibandingkan di beberapa negara muslim yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Sai‟d al-Ashmawi,
bahwa dimana terdapat kemaslahatan umum di situlah terdapat hukum
Allah, sesuai dengan prinsip filsafat hukum Islam.
c.
Pengelolaan
Wakaf di Pakistan
Negara Pakistan
terletak di anak benua India, yang berbatasan dengan Iran, Afghanistan, India dan China, mayoritas
penduduknya beragama Islam, dengan berbagai aliran,
awalnya merupakan bagian dari wilayah Negara India, namun pada tahun 1947 melepaskan diri dari India, tentu dengan
berbagai gejolak dan pengorbanan dari kedua belah pihak.
Terlepas dari ada
tidaknya pengaruh pemikiran
Pergerakan Islam Abul A‟la Almaududi, terdapat
dua peraturan mengenai pengelolaan wakaf di negara ini. Sebelum lepas dari
India pada tahun 1935 ada The Musalman Waqf (Bombay Amandement) Act, dan pada tahun 1945 ada The Qanon-e Awqaf Islami (sekarang propinsi Bahwalpur). Setelah lepas
dari India, pada tahun
1949 ada The North West Frontier Province Charitible
Institution Act ,
kemudian pada tahun 1951 ada The Punjab Muslim Awqaf Act. Keempat
peraturan tersebut hanya mangatur pelaksanaan wakaf pada empat provinsi yang bebeda, lalu pada tahun 1959
peraturan wakaf di bawah paying hukum yang satu
untuk semua provinsi dengan dikeluarkannya The Musalman Waqf (Sind Amandement) Act.[17]
Dalam
perjalananya peraturan ini tidak berlaku efektif dan tidak relevan, maka pada tahun 1976 aturan tersebut diganti
dengan Awqaf (Federal Control) Act, pengelolaan wakaf dilakukan
di tingkat federal. Pada tahun 1979 pengelolaan wakaf dikembalikan lagi ke tingkat provinsi. Setiap tahun
pengelolaan harta wakaf meningkat.
d.
Keberhasilan
Pengelolaan Wakaf di Turki
Secara geografis negara ini memiliki letak yang cukup
strategis, karena sebagian wilayahnya masuk ke daratan benua
Asia dan sebagian yang lain masuk wilayah benua Eropa. Di wilayah Asia,
negara ini berbatasan dengan Syiria, Irak dan Armenia, sedangkan wilayah Eropa
berbatasan dengan Rusia, Belgia dan Yunani. Mayoritar
penduduknya beragama Islam, minoritasnya terdiri dari penganut Yahudi, Nasrani,
dan agama serta kepercayaan lainnya.
Turki sering dianggap sebagai
negara yang berhasil dalam menjalankan praktik wakaf, terutama pada masa
Dinasti Turki Utsmani, yang sampai tahun 1925 terdapat ¾ luas lahan subur di
negara ini dikelola oleh wakaf.[18]
Namun ketika Kamal
al-Tartuk berkuasa, perkembangan wakaf mengalami stagnan bahkan penurunan.
Pada masa Turki modern, wakaf mulai diatur
tahun 1925 dengan keluarnya Undang-undang nomor 667, dengan keluarnya
peraturan ini, semua aset wakaf dikuasai oleh negara, hanya masjid yang tidak dianeksasi.
Dikarenakan perubahan sosial dan politik, maka pada tahun 1926, pengelolaan wakaf
didasarkan pada Acta Charity Foundation nomor 2767, dan pelaksanaan wakaf mulai
berjalan lagi.
Perkembangan selanjutnya sangat signifikan, pada tahun 1983 dibentuk
kementrian wakaf. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada data wakaf yang dikeluarkan
oleh Dirjen Wakaf Turki pada tahun 1987, Dirjen ini telah mengelola 37.917 wakaf,
yang terdiri dari 4.400 masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat bisnis, 150
hotel, 5.348 toko, 2.254 apartemen, dan 24.809 properti lainnya.[19]
Selain
itu, dilihat dari jenis usaha komersialisasi wakaf di Turki sangat maju dibanding di negara Islam lainnya, karena
badan wakaf di negara ini telah melakukan ekspansi
usaha bidang pertambahan, perumahan, dan lain-lain. Mustahiq -nya pun sangat beragam, yang secara garis besar terbagi kepada dua
macam, pertama berbentuk sosial, seperti disalurkan kepada fakir miskin, rumah
sakit atau pengobatan gratis, besiswa bagi para pelajar, pembuatan rumah yatim
piatu, dan lain-lain. Kedua
berbentuk ibadah, seperti untuk
pembangunan masjid, dan sarana prasarana ibadah lainnya.
e.
Pengelolaan
Wakaf di Indonesia
Indonesia
adalah negara kepulauan yang terletak di wilayah benua Asia bagian Tenggara. Walaupun jaraknya cukup jauh dari pusat
peradaban Islam, namun penduduknya mayoritas
beragama Islam. Hal ini
sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Ada beberapa
teori mengenai masuknya Islam ke wilayah ini, teori terakhir yang berkembang berpendapat bahwa Islam datang ke wilayah
nusantara ini sudah ada sejak zaman khalifah al-rashidun.
Oleh
karena itu, diasumsikan praktik wakaf di Indonesia sudah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik, atau sejak
berdirinya kesultanan Islam di Nusantara. Di beberapa
daerah di Indonesia kita jumpai praktik yang menyerupai wakaf, penelitian CSRC menunjukkan bahwa di Mataram, dikenal ”tanah Perdikan‟ di Lombok dikenal adanya ”tanah Pareman‟ di Banten (masy. Badui di Cebo) dikenal adanya “Huma Serang” di Minangkabau dikenal adanya “tanah pusaka” (tinggi), di Aceh dikenal
adanya “Tanah weukeuh” (tanah pemberian sultan untuk kepentigan umum, meunasah, masjid). Tradisi pemeliharaan
meunasah di Aceh, sejak dulu selalu diurus oleh Teungku Imum Meunasah
(ulama kecil di tiap kampung), dimana honor Teungku Imum dan biaya pemeliharaan
meunasah biasanya diambil dari hasil perkebunan yang diwakafkan.[20]
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa akar pelaksanaan
wakaf di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka.
Pada
zaman Belanda pernah ada aturan tentang wakaf tapi tidak berjalan lama dan hanya mengatur wewenang, prosedur, perizinan dan administrasi saja. CSRC
mencatat tidak kurang telah terjadi empat kali
pemberlakukan aturan tentang wakaf, mulai tahun 1905, 1931, 1934, dan 1935.
Pada masa kemerdekaan, aturan tentang wakaf mendapat
payung hukum dari UU No. 5 tahun 1960 tentang Agraria,
pada pasal 49 ayat 3 berbunyi: perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
menurut peraturan pemerintah. Peraturan ini ditegaskan
lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, dijelaskan tentang penerbitan sertifikat tanah
wakaf. Lalu keluar PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik,
disebutkan bahwa harta wakaf boleh ditukar setelah mendapat izin menteri agama.
Pada
tahun 1991 keluar Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI), disebutkan bahwa objek wakaf termasuk harta bergerak, jumlah nazir tidak hanya tiga, tetapi diseusaikan dengan
kebutuhan. Dalam perkembangannya masyarakat
sering dirugikan akibat dari pengelolaan harta wakaf yang dilakukan secara tidak profesional dan tarik menarik oleh
berbagai kepentingan dari beberapa kalangan. Sebagaimana yang
diuraikan oleh Said Agil Husin al-Munawar, beberapa permasalahan yang merugikan
masyarakat di antaranya adalah: keberadaan benda wakaf sering tidak diketahui lagi, ahli waris waqif sering menjual kembali harta
wakafnya, ahli waris sering bersengketa terhadap harta wakaf, harta wakaf bukan
milik si waqif secara
sempurna, dan banyak harta wakaf yang belum diberdayakan atau dikelola secara
maksimal, bahkan ditelantarkan.[21]
Oleh
karena, dianggap penting dan mendesak adanya payung hukum dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur wakaf secara khusus, karena
Inpres No. 1 tahun 1991 tidak
dapat mengakomodir pengaturan wakaf secara sempurna, maka pada tahun 2004 keluarlah Undang-undang nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf. Garis besar peraturan ini berisi:
tujuan dan fungsi wakaf; unsur wakaf; administrasi wakaf; perubahan status
harta benda wakaf; pengelolaan dan pengembangan;
BWI; penyelesaian sengketa; pembinaandan pengawasan; ketentuan pidana dan
sanksi administrasi.[22]
Sedangkan
mengenai sengketa yang terjadi pada permasalahan wakaf ditangani oleh Pengadilan Agama, sebagaimana yang tercantum
pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Demikianlah regulasi wakaf di Indonesia yang telah berlangsung
cukup lama, yang baru tahun 2004 memiliki payung
hukumnya.
Pada saat ini, di Indonesia sedang dilakukan sosialisasi
wakaf uang. Di negara lain
seperti Turki, Kuwait, Bangladesh sudah cukup lama
dikembangkan, sehingga dapat mengembangkan harta benda wakaf yang lain. Hasil
pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut sangat membantu menyelesaikan
berbagai masalah umat, khususnya masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Wakaf
uang sebenarnya sudah dikenal oleh para ulama klasik.[23]
Ulama yang membolehkan
wakaf uang berpendapat, bahwa uang dapat diwakafkan asalkan uang tersebut
diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudlarabah), kemudian keuntungannya
disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan
demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf
‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang itu. Pada saat ini sudah cukup
banyak bermunculan bentuk baru pengelolaan wakaf uang. Munculnya bentuk-bentuk
pengelolaan wakaf uang tersebut tidak terlepas dari munculnya berbagai bentuk
investasi dan berbagai cara dalam pengelolaan ekonomi. Salah satu bentuk baru
dalam pengelolaan wakaf uang adalah wakaf uang yang dikelola oleh perusahaan
investasi. Biasanya wakaf uang di sini dikelola atas asas mudlarabah. Dalam hal
ini uang diserahkan kepada badan atau yayasan yang menerima pinjaman usaha bagi
hasil atau kepada yayasan yang dikelola oleh pengelola sewaan, sedangkan
hasilnya diberikan kepada mauquf ‘alaih sebagai amal kebaikan sesuai dengan
tujuan wakaf.
C.
KESIMPULAN
Dari uraian
di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwa sejarah wakaf di masaa modern diawali
dengan runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani sekitar abad ke-19. Pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern sangat beragam, baik
dilihat dari sisi sejarah, regulasi,
pelaksanaan, dan pengembangannya. Setiap tahun kesadaran kaum muslim dan perkembangan pengelolaan wakaf semakin meningkat baik
secara kuantitas maupun kualitasnya.
Semestinya Indonesia dapat mengadopsi pengelolaan wakaf di Negara muslim lain untuk mengejar ketertinggalannya, agar
kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah (ed), Taufik, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta, Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.
Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta
Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta,
IIMaN Press dan Dompet Dhuafa Republika, 2004.
Ahmad
Azhar, Basir, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung, Al-Ma,arif, 1987.
Ahmad
Warson, Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif.
2002.
Al-Shaukani, Nail al Author, Jil. VI, Beirut, Dar al-Fikr,, tt, h. 129. Lihat
pula di http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perwakafan-islam/ diakses pada 11 Februari 2017, pukul 22.30
WIB.
A. Karim, Adiwarman, “Wakaf Tunai untuk Investasi,”
dalam Seminar Wakaf Tunai untuk Investasi
Bisnis Bank Nasional Indonesia- Dompet
Dhuafa‟, Republika, Jakarta, 8 Mei 2003.
A. Najib, Tuti dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang
Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Center for the Study of
Religion and Culture,
2006.
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Alhidayah, 1998.
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia. Jakarta: Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam
dan Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam., 2007
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru wakaf di Indonesia, Jakarta, Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007.
Djunaidi, Achmad, dan Thobieb al-Asyhar, Menuju
Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta, Mitra Abadi Press, 2006.
Hasanah, Uswatun “Wakaf
Tunai Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Program Studi Timur Tengah dan
Islam/ PSTTI-UI, 2006.
Hadis Shahih
Muslim. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, Hadis No.1631 Versi Syarh Shahih
Muslim (No. 3084 Versi Al-Alamiyah), www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android
Version
Husin al-Munawar, Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Penamadani, 2004.
Putuhena, M.
Shaleh,
Historiografi
Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007.
Munzir, Qahaf, Menejemen Wakaf Produktif,
Jakarta, Pustaka Kausar Grup, 2005.
UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf
Internet
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/11/03/18/170455-bagaimana-pengelolaan-wakaf-di-era-dinasti-dinasti-islam-
[1] Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia,
Surabaya, Pustaka Progresif. 2002, h. 1576.
[2] Qahaf, Munzir, Menejemen Wakaf Produktif, Jakarta, Pustaka Kausar Grup, 2005,
h. 45.
[3] Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah
Wakaf Produktif Strategis di Indonesia. Jakarta:
Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam dan Derektorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam., 2007, h. 2-3
[4] Basir, Ahmad Azhar, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung, Al-Ma,arif,
1987, h. 5.
[5] UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1)
[6] Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya,
Alhidayah, 1998. h. 63
[7] Departemen Agama
RI,, Ibid., h. 52.
[8] Hadis Shahih
Muslim. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, Hadis No.1631 Versi Syarh Shahih
Muslim (No. 3084 Versi Al-Alamiyah), www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android
Version
[9] Ibid., Hadis
No.1632 Versi Syarh Shahih Muslim (Hadis No. 3085 Versi Al-Alamiyah).
[10] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru wakaf di
Indonesia, Jakarta, Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, h. 27.
[11]
Al-Shaukani, Nail al Author, Jil. VI, Beirut,
Dar al-Fikr,, tt, h. 129. Lihat
pula di http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perwakafan-islam/ diakses pada 11 Februari 2017, pukul 22.30
WIB.
[12] Lihat M. Shaleh
Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS,
2007, h. 246-248.
[13] Achmad Djunaidi
dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta, Mitra Abadi
Press, 2006, h. 35
[14] Ibid., h.
36
[15] Muhammad Abid
Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap
tentang Fungsi dan Pengelolaan
Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta,
IIMaN Press
dan Dompet Dhuafa Republika, 2004, h. 35
[16] Uswatun Hasanah, “Wakaf Tunai Ditinjau dari Hukum
Islam, Jakarta: Program Studi Timur Tengah dan Islam/ PSTTI-UI, 2006, h.60.
[17] Adiwarman A.
Karim, “Wakaf Tunai untuk Investasi,” dalam Seminar Wakaf Tunai untuk Investasi
Bisnis Bank Nasional Indonesia- Dompet Dhuafa‟, Republika,
Jakarta, 8 Mei 2003.
[18] Achmad Djunaidi dan Thobieb
al-Asyhar, Op.Cit., h. 41
[19] Tuti A. Najib
dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan,
dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf
dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta:
Center for the Study of Religion and Culture,
2006, h. 50-51.
[20] Taufik Abdullah
(ed), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta,
Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983,
h. 15-17.
[21] Said Agil Husin
al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Penamadani, 2004,
h. 127.
[22] Lihat UU No.
41 Tahun 2004
[23] http://wacanaislam.blogspot.co.id/2008/05/perkembangan-wakaf-pada-masa.html diakses 12 Februari, pukul 05.30 WIB