Monday, 12 March 2018

SEJARAH WAKAF MASA MODERN



A.   PENDAHULUAN
Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Di beberapa negara yang telah mengembangkan wakaf secara produktif, misalnya Mesir, Turki, Yordania, wakaf sangat berperan dalam memajukan bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, pengentasan kemiskinan, peningkatan ekonomi umat, dan lain sebagainya.
Meskipun dalam sejarah wakaf telah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat, namun hasil studi tentang pengelolaan wakaf akhir-akhir ini menunjukkan masih adanya wakaf yang kurang memberi dampak positif karena tidak dikelola dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan karena terjadinya mismanajemen, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan harta wakaf. Sebagai akibatnya ada negara yang hasil pengelolaan harta wakafnya menurun sehingga tidak cukup untuk memelihara aset harta wakaf yang ada, apalagi untuk memberikan manfaat kepada fakir miskin, atau dengan kata lain tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkan wakif. Berkenaan dengan kondisi tersebut, banyak ilmuwan yang mengkaji kembali strategi pengelolaan wakaf, dengan harapan di masa yang akan datang wakaf dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Bagi negara yang wakafnya kurang berkembang, pada umumnya pemerintah dan ilmuwan setempat mengkaji faktor yang menyebabkannya. Setelah diketemukan faktor penyebabnya, negara-negara tersebut menyusun strategi dan kebijakan untuk mengembalikan fungsi wakaf sebagaimana mestinya, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di beberapa negara hasil wakaf pada umumnya selain dipergunakan untuk kepentingan keagamaan, meningkatkan ekonomi umat, kesehatan, pendidikan, juga dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk menyediakan air minum di pusat perbelanjaan, membangun jalan, menyediakan sarana dan prasaran umum lainnya. Begitu pentingnya wakaf untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat, maka pada saat ini wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang menjadi bahan kajian bagi para ilmuwan. Kajian wakaf tersebut tidak hanya di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam, tetapi juga perguruan-perguruan tinggi umum, bahkan di Barat masalah wakaf sudah mendapat perhatian khusus bagi para cendekiawan. Hal ini disebabkan karena wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial, sehingga perlu digali dan dikembangkan.
Oleh karena itu, pemakalah merasa tertarik dengan permasalahan kali ini mengenai sejarah pengelolaan wakaf di masa modern yang berlangsung sejak 1800M sampai dengan sekarang dan diawali dari runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani.

B.   PEMBAHASAN
1.   Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa” yang artinya “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat”. Kata “waqafa (fiil madi) -yaqifu (fiil mudari)-waqfan (isim masdar) sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan” artinya mewakafkan.[1] Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.[2]
Para ahli fiqh mempunyai pandangan yang berbeda terhadap definisi wakaf. Berikut beberapa definisi wakaf menurut ulama fiqh[3]
a.    Menurut Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan baik menjual, menghibahkan atau mewariskan kepada siapapun.
b.   Menurut Mahzab Hanafi, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaat untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut maka kepemilikan atas benda wakaf tetap menjadi milik si wakif dan yang timbul dari wakif  hanyalah menyedekahkan manfaatnya untuk digunakan oleh penerima wakaf.
c.    Menurut Mazhab Malikiyah, wakaf adalah tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaat serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
d.   Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaannya yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah.[4]
Sedangkan menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”[5]
Dari berbagai rumusan pengertian tentang wakaf, dapat diartikan bahwa wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau Nazhir (pemelihara atau pengurus wakaf) atau kepada suatu badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan dan bukan pula milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi milik Allah SWT.

2.   Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Al-Qur’an dan juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah tentang pemahaman konteks terhadap ayat Al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf sebagai amal kebaikan di antaranya terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 92 :
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
Artinya : Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS : Al Imran : 92)[6]

Kemudian dalam Surat Al- Baqarah ayat 261 :
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS: Al-Baqarah :261)[7]
Dari pengertian di atas tersirat makna perintah memberikan sebagian dari hasil usaha yang halal dan terbaik untuk kepentingan umum di luar kepentingan pribadi. Artinya, urusan Islam secara umum mendapat perhatian lebih. Perhatian itu tesirat dari harta yang diberikan adalah yang terbaik, pilihan, dan halal. Hal ini bertentangan dengan kenyataan yang banyak terjadi. Sedekah, baik sedekaah waib maupun sedekah sunnah (termasuk wakaf) banyak yang diambil dari harta yang tidak produktif dan efektif. 
Selain itu, berikut ini beberapa dasar hukum wakaf yang terdapat dalam As-Sunah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ اَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابْنُ سَعِيْدٍ زَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا اِسْمَعِيْلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ اْلعَلاَءِ عَنْ اَبِيهِ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَا نُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَه. (رواه مسلم)
Artinya :”Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah yaitu Ibnu Sa’id dan ibnu Hujr mereka berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ismail-yaitu Ibnu Ja’far dari Al-‘Ala’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya. (HR : Muslim)[8]
Selanjutnya hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى الَّتَمِيْمِيُّ اَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ اَخْضَرَ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : اَصَابَ عُمَرُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ فَاَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنِّي اَصَبْتُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ اُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ اَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ اِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ اَنَّهُ لاَ يُبَاعُ اَصْلُهَا وَلاَ يُبْتَا عُ وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي اْلفُقَرَاءِ وَفِي الرِّقَا بِ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَجُنَا حَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِا لْمَعْرُوْفِ اَوْيُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيْهِ.(رواه مسلم)
Artinya :”Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi telah mengabarkan kepada kami Sulaim bin Ahdlar dari ibnu ‘Aun dari Nafi’dari Ibnu Umar dia berkata :” Umar mendapatkan bagian tanah perkebunan di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi SAW dan meminta saran mengenai bagian tersebut, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapat bagian tanah perkebunan di Khaibar, dan saya belum pernah mendapatkan harta yang sangat sebaik kebun itu, maka apa yang anda perintahkan mengenai kebun tersebut?” beliau menjawab :”Jika kamu mau, maka peliharalah pohonnya dan sedekahkanlah hasilnya. “Ibnu Umar berkata :”Umar menyedekahkannya, tidak dijual pohonnya dan hasilnya, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan.”Ibnu Umar melanjutkan :“Umar menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, karib kerabat, pemerdekaan budak, dan sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan dia juga membolehkan orang lain untuk mengolah kebun tersebut dan memakan dari hasil tanamannya dengan sepantasnya, atau memberi makan temannya dengan tidak menyimpannya.” (HR: Muslim)[9]
Dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an dan hadist  Nabi yang menyinggung tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.
Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik (berorientasi pada masa depan). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Memang ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi, dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal.[10]

3.   Sejarah Wakaf Pada Masa Modern
Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yakni wakaf milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Kemudian Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya.
Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW”.[11]
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf ialah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. sebagaimana yang telah diterangkan pada hadis Riwayat Muslim No.1632 sebelumnya.
Sejarah pelaksanaan syariat wakaf terus berkembang dan diteruskan sejak masa Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh pada masa sahabat (khulafaur rasyidin), kemudian dinasti-dinasti Islam lainnya hingga runtuhnya negara Turki Usmani.
Di zaman kesultanan Utsmaniyah dikenal dengan sebutan Turki Utsmani atau Devlet-i ‘ Aliyye-yi Osmaniyye pengelola wakaf semakin berkembang. Diantara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya Realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan. Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf.
Pasca kekuasaan Turki Utsmani (1924 M) Wakaf, dinegara-negara Islam maupun di negeri-negeri Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran para pakar/ ahli hukum Islam.
Meskipun perkembangan wakaf di berbagai negara muslim mengalami pasang surut, dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik di masing-masing negara. Berikut ini kami paparkan perkembangan wakaf secara spesifik pada beberapa negara muslim pada masa modern, yang mewakili beberapa kawasan Arab Saudi (Timur Tengah), Mesir (Afrika), Turki (Eropa), dan Pakistan (Asia Selatan) serta Indonesia (Asia Tenggara).

a.      Pengelolaan Wakaf di Arab Saudi
Negara Arab Saudi berdiri pada tahun 1924 dengan nama al-mamlakah al-Arabiyaal- Su’udiyah atau Kerajaan Arab Saudi, yang telah menguasai daerah Hijaz di Barat.Proklamasi pendiriannya dilakukan oleh Abdul Aziz ibn Saud, yang secara umum disiarkanmelalui surat kabar pemerintah Umm al-Qurra  terbit pertama pada tanggal 17 Desember1924. Namun demikian, 22 tahun sebelumnya atau bertepatan tahun 1902, Abdul Aziz baru menguasai daerah Nejed di Utara dengan ibu kota di Riyadh[12], sedangkan daerah Baratmasih dikuasai Dinasti Utsmani. Abdul Aziz berkuasa dari tahun 1902 sampai tahun 1953,dan menjadi pengikut aliran Wahabi.
 Negara ini menganut sistem kerajaan, raja memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan, pemasukan utama negara ini, berasal dari minyak bumi yang banyak terkandung di dalam perut buminya, yang mulai ditemukan pada tahun 1938.
 Setelah Abdul Aziz berkuasa, banyak kebijakan yang dikeluarkannya untuk menata pemerintahannya. Dalam masalah agama, ia menata pelaksanaan haji, sedangkan regulasi wakaf secara khusus baru diatur oleh penerusnya pada beberapa tahun berikutnya, yaitu Ketetapan No. 574 Tahun 1386 H. bertepatan dengan 1966 M. tentang Majelis Tinggi Wakaf.[13]
 Lembaga ini diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, anggotanya terdiri dari Wakil Kementrian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman, wakil dari Kementrian Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota darikalangan cendikiawan dan wartawan. Jika dilihat dari sisi politik, tentu mereka berasal dari ideologi yang sama dengan penguasa.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Majelis Tinggi Wakaf memiliki wewenang antara lain: mendata harta wakaf serta mengetahui kondisinya dan menetapkan teknikpengelolaannya; menentukan langkah-langkah pengembangan, termasuk dalam penanaman modal dan peningkatan harta wakaf; melakukan distribusi harta wakaf sesuai dengan tuntutan syari‟at; menetapkan anggaran tahunan dalam pengelolaan wakaf; serta menyusun dan membuat laporan pengelolaan wakaf.[14]
Dilihat dari bentuknya, wakaf di negara ini ada bermacam-macam, di antaranya bangunan, seperti hotel, tanah, bangunan atau rumah untuk penduduk, pertokoan,perkebunan, serta tempat ibadah. Ada juga jenis wakaf tertentu yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pembangunan masjid al-haram di kota Makkah dan masjid Nabawi di kota Madinah, seperti bangunan untuk penginapan bagi jemaah haji.
Untuk membantu Majelis Tinggi dalam menjalankan wewenangnya, Kerajaan Arab Saudi juga mengangkat nazir, sebagai pengelola wakaf. Hal ini menunjukkan keseriusan negara ini dalam mengelola wakaf.

b.      Pengelolaan Wakaf di Mesir
Secara geografis, Mesir terletak di wilayah benua Afrika yang berbatasan dengan Jazirah Arab, namun mayoritas penduduknya merupakan etnis Arab, yang sudah ada jauh sebelum negara ini merdeka dari Prancis. Pemerintahannya menganut sistem republik yang dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya.
Mesir merupakan salah contoh negara yang sangat baik dalam mengelola wakaf, khususnya pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh lembaga pendidikan al-Azhar, sampai abad ke-19 hampir separuh dari tanah di Mesir dikelola oleh lembaga wakaf al-Azhar. Salah satu jenis wakaf yang menarik untuk dikaji di negara ini adalah polemik seputar wakaf keluarga. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan wakaf keluarga ini sudah ada jauh sebelum agama Islam lahir, lalu kebiasaan ini diteruskan sampai era modern.
Pada awal abad 20 wakaf di Mesir dikelola oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dengan nama Diwan al-Awqaf, yang berwenang mengatur dan mengurus harta wakaf. Dalam perkembangannya, pada tanggal 20 November 1913, lembaga ini meningkat statusnya menjadi departemen, sehingga wakaf di Mesir diurus langsung oleh KementrianWaqaf (Wazarah al-Awqaf)
Pada masa modern, dua tahun setelah revolusi Mesir yang terjadi pada 1925[15],  regulasi wakaf keluarga di negera ini mulai diatur dengan peraturan tahun 1927 tentang wakaf keluarga. Dalam perkembangannya, wakaf ini terus mengalami pro dan kontra, yang jauh sebelumnya memang sudah terjadi sikap pro dan kontra, lalu keluar lah Peraturan tahun 1946, yang menyatakan bahwa peraturan tentang wakaf  keluarga bersifat sementara.
Salah satu alasan bagi kelompok yang menuntut penghapusan wakaf keluarga ini adalah karena wakaf keluarga tidak memiliki implikasi terhadap sedekah. Pendapat ini dibantah oleh mereka yang mendukung, dengan alasan bahwa banyak perbuatan para sahabat yang menyalurkan harta wakaf kepada kerabat dekatnya. Selain itu banyak hadits yang menyatakan bahwa bersedekah kepada keluarga dekat lebih diutamakan, baru kepada kalangan lainnya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari para ulama fikih.
Dikarenakan sikap pro dan kontra terhadap wakaf keluarga semakin memuncak, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan nomor 180 tahun 1952, yang menyatakan bahwa legalitas wakaf keluarga dihapus, status wakaf keluarga menjadi wakaf bebas dan tidak terikat. Pada akhirnya, wakaf di negara ini hanya terbatas pada wakaf umum saja,yang diperkuat dengan Peraturan nomor 347 tahun 1953 tentang Wakaf Umum.
Pada tahun tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan nomor 547 tahun 1953 yang menyatakan bahwa Kementrian wakaf berwenang mengurus wakaf. Lalu berturut-turut, pada beberapa tahun berikutnya pemerintah terus mengeluarkan peraturan tentang wakaf. Pada tahun 1954 keluar Peraturan nomor 525 tentang pembangian pembagian hasil wakaf, kemudian pada tahun 1957 keluar lagi Peraturan No. 18 tentang pembagian harta wakaf kepada mustahik.
Kemudian pada tahun 1971 keluar Peraturan Nomor 80 tentang Badan Wakaf. Badan ini memiliki beberapa wewenang di antaranya melakukan perencanaan pengelolaan wakaf, mendistribusikan harta wakaf, mengembangkan harta wakaf yang telah dikumpulkan, dan menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan wakaf. Berdasarkan Qanun Mesir, benda yang diwakafkan tidak terbatas pada benda yang tidak bergerak saja, tapi juga benda-benda yang bergerak.[16]
Yang menarik dari kasus perundang-undangan tentang pengaturan wakaf di Mesir adalah dinamika hukumnya yang cepat berubah menyesuaikan perkembangan zaman, yang berbasis pada perkembangan sosial budaya masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Islam di Mesir sangat dinamis bila dibandingkan di beberapa negara muslim yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Sai‟d al-Ashmawi, bahwa dimana terdapat kemaslahatan umum di situlah terdapat hukum Allah, sesuai dengan prinsip filsafat hukum Islam.

c.       Pengelolaan Wakaf di Pakistan
Negara Pakistan terletak di anak benua India, yang berbatasan dengan Iran, Afghanistan, India dan China, mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan berbagai aliran, awalnya merupakan bagian dari wilayah Negara India, namun pada tahun 1947 melepaskan diri dari India, tentu dengan berbagai gejolak dan pengorbanan dari kedua belah pihak.
Terlepas dari ada tidaknya pengaruh pemikiran Pergerakan Islam Abul A‟la Almaududi, terdapat dua peraturan mengenai pengelolaan wakaf di negara ini. Sebelum lepas dari India pada  tahun 1935 ada The  Musalman  Waqf  (Bombay Amandement) Act, dan pada tahun 1945 ada The Qanon-e Awqaf Islami (sekarang propinsi Bahwalpur). Setelah lepas dari India, pada tahun 1949 ada The North West Frontier Province Charitible Institution Act , kemudian pada tahun 1951 ada The Punjab Muslim Awqaf Act.  Keempat peraturan tersebut hanya mangatur pelaksanaan wakaf pada empat provinsi yang bebeda, lalu pada tahun 1959 peraturan wakaf di bawah paying hukum yang satu  untuk  semua  provinsi  dengan dikeluarkannya The Musalman Waqf (Sind Amandement) Act.[17]
 Dalam perjalananya peraturan ini tidak berlaku efektif dan tidak relevan, maka pada tahun 1976 aturan tersebut diganti dengan Awqaf  (Federal Control) Act, pengelolaan wakaf dilakukan di tingkat federal. Pada tahun 1979 pengelolaan wakaf dikembalikan lagi ke tingkat provinsi. Setiap tahun pengelolaan harta wakaf meningkat.

d.      Keberhasilan Pengelolaan Wakaf di Turki
Secara geografis negara ini memiliki letak yang cukup strategis, karena sebagian wilayahnya masuk ke daratan benua Asia dan sebagian yang lain masuk wilayah benua Eropa. Di wilayah Asia, negara ini berbatasan dengan Syiria, Irak dan Armenia, sedangkan wilayah Eropa berbatasan dengan Rusia, Belgia dan Yunani. Mayoritar penduduknya beragama Islam, minoritasnya terdiri dari penganut Yahudi, Nasrani, dan agama serta kepercayaan lainnya.
Turki sering dianggap sebagai negara yang berhasil dalam menjalankan praktik wakaf, terutama pada masa Dinasti Turki Utsmani, yang sampai tahun 1925 terdapat ¾ luas lahan subur di negara ini dikelola oleh wakaf.[18]
 Namun ketika Kamal al-Tartuk berkuasa, perkembangan wakaf mengalami stagnan bahkan penurunan. Pada masa Turki modern, wakaf mulai diatur tahun 1925 dengan keluarnya Undang-undang nomor 667, dengan keluarnya peraturan ini, semua aset wakaf dikuasai oleh negara, hanya masjid yang tidak dianeksasi. Dikarenakan perubahan sosial dan politik, maka pada tahun 1926, pengelolaan wakaf didasarkan pada Acta Charity Foundation nomor 2767, dan pelaksanaan wakaf mulai berjalan lagi.
Perkembangan selanjutnya sangat signifikan, pada tahun 1983 dibentuk kementrian wakaf. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada data wakaf yang dikeluarkan oleh Dirjen Wakaf Turki pada tahun 1987, Dirjen ini telah mengelola 37.917 wakaf, yang terdiri dari 4.400 masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat bisnis, 150 hotel, 5.348 toko, 2.254 apartemen, dan 24.809 properti lainnya.[19]
 Selain itu, dilihat dari jenis usaha komersialisasi wakaf di Turki sangat maju dibanding di negara Islam lainnya, karena badan wakaf di negara ini telah melakukan ekspansi usaha bidang pertambahan, perumahan, dan lain-lain. Mustahiq -nya pun sangat beragam, yang secara garis besar terbagi kepada dua macam, pertama berbentuk sosial, seperti disalurkan kepada fakir miskin, rumah sakit atau pengobatan gratis, besiswa bagi para pelajar, pembuatan rumah yatim piatu, dan lain-lain. Kedua berbentuk ibadah, seperti untuk pembangunan masjid, dan sarana prasarana ibadah lainnya.

e.       Pengelolaan Wakaf di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di wilayah benua Asia bagian Tenggara. Walaupun jaraknya cukup jauh dari pusat peradaban Islam, namun penduduknya mayoritas beragama Islam. Hal ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Ada beberapa teori mengenai masuknya Islam ke wilayah ini, teori terakhir yang berkembang berpendapat bahwa Islam datang ke wilayah nusantara ini sudah ada sejak zaman khalifah al-rashidun. 
Oleh karena itu, diasumsikan praktik wakaf di Indonesia sudah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik, atau sejak berdirinya kesultanan Islam di Nusantara. Di beberapa daerah di Indonesia kita jumpai praktik yang menyerupai wakaf, penelitian CSRC menunjukkan bahwa di Mataram, dikenaltanah Perdikan‟ di Lombok dikenal adanyatanah Pareman‟ di Banten (masy. Badui di Cebo) dikenal adanyaHuma Serangdi Minangkabau dikenal adanyatanah pusaka(tinggi), di Aceh dikenal adanyaTanah weukeuh (tanah pemberian sultan untuk kepentigan umum, meunasah, masjid). Tradisi pemeliharaan meunasah di Aceh, sejak dulu selalu diurus oleh Teungku Imum Meunasah (ulama kecil di tiap kampung), dimana honor Teungku Imum dan biaya pemeliharaan meunasah biasanya diambil dari hasil perkebunan yang diwakafkan.[20] Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa akar pelaksanaan wakaf di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pada zaman Belanda pernah ada aturan tentang wakaf tapi tidak berjalan lama dan hanya mengatur wewenang, prosedur, perizinan dan administrasi saja. CSRC mencatat tidak kurang telah terjadi empat kali pemberlakukan aturan tentang wakaf, mulai tahun 1905, 1931, 1934, dan 1935.
Pada masa kemerdekaan, aturan tentang wakaf mendapat payung hukum dari UU No. 5 tahun 1960 tentang Agraria, pada pasal 49 ayat 3 berbunyi: perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah. Peraturan ini ditegaskan lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, dijelaskan tentang penerbitan sertifikat tanah wakaf. Lalu keluar PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, disebutkan bahwa harta wakaf boleh ditukar setelah mendapat izin menteri agama.
Pada tahun 1991 keluar Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa objek wakaf termasuk harta bergerak, jumlah nazir tidak hanya tiga, tetapi diseusaikan dengan kebutuhan. Dalam perkembangannya masyarakat sering dirugikan akibat dari pengelolaan harta wakaf yang dilakukan secara tidak profesional dan tarik menarik oleh berbagai kepentingan dari beberapa kalangan. Sebagaimana yang diuraikan oleh Said Agil Husin al-Munawar, beberapa permasalahan yang merugikan masyarakat di antaranya adalah: keberadaan benda wakaf sering tidak diketahui lagi, ahli waris waqif sering menjual kembali harta wakafnya, ahli waris sering bersengketa terhadap harta wakaf, harta wakaf bukan milik si waqif secara sempurna, dan banyak harta wakaf yang belum diberdayakan atau dikelola secara maksimal, bahkan ditelantarkan.[21]
 Oleh karena, dianggap penting dan mendesak adanya payung hukum dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur wakaf secara khusus, karena Inpres No. 1 tahun 1991 tidak dapat mengakomodir pengaturan wakaf secara sempurna, maka pada tahun 2004 keluarlah Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Garis besar peraturan ini berisi: tujuan dan fungsi wakaf; unsur wakaf; administrasi wakaf; perubahan status harta benda wakaf; pengelolaan dan pengembangan; BWI; penyelesaian sengketa; pembinaandan pengawasan; ketentuan pidana dan sanksi administrasi.[22]
 Sedangkan mengenai sengketa yang terjadi pada permasalahan wakaf ditangani oleh Pengadilan Agama, sebagaimana yang tercantum pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Demikianlah regulasi wakaf di Indonesia yang telah berlangsung cukup lama, yang baru tahun 2004 memiliki payung hukumnya.
Pada saat ini, di Indonesia sedang dilakukan sosialisasi wakaf uang. Di negara lain seperti Turki, Kuwait, Bangladesh sudah cukup lama dikembangkan, sehingga dapat mengembangkan harta benda wakaf yang lain. Hasil pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut sangat membantu menyelesaikan berbagai masalah umat, khususnya masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Wakaf uang sebenarnya sudah dikenal oleh para ulama klasik.[23]
Ulama yang membolehkan wakaf uang berpendapat, bahwa uang dapat diwakafkan asalkan uang tersebut diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudlarabah), kemudian keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang itu. Pada saat ini sudah cukup banyak bermunculan bentuk baru pengelolaan wakaf uang. Munculnya bentuk-bentuk pengelolaan wakaf uang tersebut tidak terlepas dari munculnya berbagai bentuk investasi dan berbagai cara dalam pengelolaan ekonomi. Salah satu bentuk baru dalam pengelolaan wakaf uang adalah wakaf uang yang dikelola oleh perusahaan investasi. Biasanya wakaf uang di sini dikelola atas asas mudlarabah. Dalam hal ini uang diserahkan kepada badan atau yayasan yang menerima pinjaman usaha bagi hasil atau kepada yayasan yang dikelola oleh pengelola sewaan, sedangkan hasilnya diberikan kepada mauquf ‘alaih sebagai amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf.


C.   KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa sejarah wakaf di masaa modern diawali dengan runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani sekitar abad ke-19. Pengelolaan wakaf di negara muslim pada era modern sangat beragam, baik dilihat dari sisi sejarah, regulasi, pelaksanaan, dan pengembangannya. Setiap tahun kesadaran kaum muslim dan perkembangan pengelolaan wakaf semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Semestinya Indonesia dapat mengadopsi pengelolaan wakaf di Negara muslim lain untuk mengejar ketertinggalannya, agar kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.




DAFTAR PUSTAKA

Abdullah (ed), Taufik,  Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta, Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.
Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid,  Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta, IIMaN Press dan Dompet Dhuafa Republika, 2004.
Ahmad Azhar, Basir, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung, Al-Ma,arif, 1987.
Ahmad Warson, Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif. 2002.
Al-Shaukani, Nail al Author, Jil. VI, Beirut, Dar al-Fikr,, tt, h. 129. Lihat pula di http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perwakafan-islam/  diakses pada 11 Februari 2017, pukul 22.30 WIB.
A. Karim, Adiwarman,Wakaf Tunai untuk Investasi,” dalam Seminar Wakaf Tunai untuk Investasi Bisnis Bank Nasional Indonesia- Dompet Dhuafa‟, Republika, Jakarta, 8 Mei 2003.
A. Najib, Tuti dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Alhidayah, 1998.
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis  di Indonesia. Jakarta: Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam dan Derektorat  Jendral Bimbingan Masyarakat Islam., 2007
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru wakaf di Indonesia, Jakarta, Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007.
Djunaidi, Achmad, dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta, Mitra Abadi Press, 2006.
Hasanah, Uswatun “Wakaf Tunai Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Program Studi Timur Tengah dan Islam/ PSTTI-UI, 2006.
Hadis Shahih Muslim. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, Hadis No.1631 Versi Syarh Shahih Muslim (No. 3084 Versi Al-Alamiyah), www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android Version
Husin al-Munawar, Said Agil,  Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Penamadani, 2004.
Putuhena, M. Shaleh,  Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007.
Munzir, Qahaf, Menejemen Wakaf  Produktif, Jakarta, Pustaka Kausar Grup, 2005.
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 

Internet
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/11/03/18/170455-bagaimana-pengelolaan-wakaf-di-era-dinasti-dinasti-islam-






[1] Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif. 2002, h. 1576.
[2] Qahaf, Munzir, Menejemen Wakaf  Produktif, Jakarta, Pustaka Kausar Grup, 2005, h. 45.
[3] Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis  di Indonesia. Jakarta: Derektorat Pemberdayaan Masyarakat Islam dan Derektorat  Jendral Bimbingan Masyarakat Islam., 2007, h. 2-3
[4] Basir, Ahmad Azhar, Wakaf Izarah dan Syirkah, Bandung, Al-Ma,arif, 1987, h. 5.
[5] UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf  Pasal 1 ayat (1)
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Alhidayah, 1998. h. 63
[7] Departemen Agama RI,, Ibid., h. 52.
[8] Hadis Shahih Muslim. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, Hadis No.1631 Versi Syarh Shahih Muslim (No. 3084 Versi Al-Alamiyah), www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android Version
[9] Ibid., Hadis No.1632 Versi Syarh Shahih Muslim (Hadis No. 3085 Versi Al-Alamiyah).
[10] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru wakaf di Indonesia, Jakarta, Derektorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, h. 27.
[11] Al-Shaukani, Nail al Author, Jil. VI, Beirut, Dar al-Fikr,, tt, h. 129. Lihat pula di http://tabungwakaf.com/sejarah-wakaf-awal-perwakafan-islam/  diakses pada 11 Februari 2017, pukul 22.30 WIB.
[12] Lihat M. Shaleh Putuhena,  Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007, h. 246-248.
[13] Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta, Mitra Abadi Press, 2006, h. 35
[14] Ibid., h. 36
[15] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi,  Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta, IIMaN Press dan Dompet Dhuafa Republika, 2004, h. 35
[16] Uswatun Hasanah, “Wakaf Tunai Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Program Studi Timur Tengah dan Islam/ PSTTI-UI, 2006, h.60.
[17] Adiwarman A. Karim, “Wakaf Tunai untuk Investasi,” dalam Seminar Wakaf Tunai untuk Investasi Bisnis Bank Nasional Indonesia- Dompet Dhuafa‟, Republika, Jakarta, 8 Mei 2003.
[18] Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Op.Cit., h. 41
[19] Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006, h. 50-51.
[20] Taufik Abdullah (ed),  Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta, Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983, h. 15-17.
[21] Said Agil Husin al-Munawar,  Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Penamadani, 2004, h. 127.
[22] Lihat UU No. 41 Tahun 2004