PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH PADA MASA RASULULLAH SAW DAN KHULAFAUR
RASYIDIN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kegiatan Dakwah Rasulullah SAW
dalam
mengembangkan Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan
Periode Madinah. Dalam periode Mekkah, kegiatan dakwah Rasulullah SAW banyak
dihadapkan kepada tekanan kaum kafir quraisy dan praktis selama perode Mekkah
Rasulullah SAW tidak menjalankan peran sebagai pemimpin negara. Peran
Rasulullah sebagai pemimpin negara dimulai pada periode Madinah. Dalam perode
ini, Rasulullah menjalankan fungsinya sebagai seorang negarawan, seperti
kegiatan beliau dalam menata kehidupan sosial masyarakat, mengatur tata
perekonomian negara dan meningkatkan kemakmuran masyarakat sebagai warga
negara.
Kedatangan Rasulullah ke
Madinah, seolah mempertemukan dua
hal yang saling membutuhkan. Rasulullah SAW
selama di Mekkah, seolah tidak menemukan lahan yang subur untuk mengembangkan
dakwahnya. Sementara sebelum kedatangan
Rasulullah SAW, situasi kota Madinah/
Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum
dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat
senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Suku Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah
terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan
kekuasaan. Mereka
juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi
dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan
ajaran Islam.

B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka pemakalah dapat merumuskan permasalahan pada
makalah ini yaitu :
1.
Bagaimanakah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di masa
Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin?
2.
Adakah perbedaan mengenai perkembangan ekonomi di masa
Rasulullah SAW dan sahabat ?
BAB II
PEMBAHASAN
Madinah merupakan negara yang
baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Tujuan dan pencanangan strategis dalam bidang
ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi muslim memenuhi kebutuhan
hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam kehidupan
mereka.
Pasar menduduki peranan
penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga
bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan, dimana
untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan
moralitas Islam Rasulullah bertindak sebagai pengawas pasar (market
controller).
Kondisi negara baru yang dibentuk ini, tidak diwarisi
sumber keuangan sedikitpun sehingga sulit dimobilisasi dalam waktu dekat. Karenanya
Rasulullah SAW segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat di Madinah[1],
yaitu:
1. Membangun masjid Nabawi
yang berperan sebagai Islamic
Centre (sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi
para pengikutnya)
2. Menjalin Ukhuwwah Islamiyyah antara kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar.
3. Menjalin kedamaian dalam
negara.
4. Mengeluarkan hak dan
kewajiban bagi warga negaranya.
5. Membuat konstitusi
negara.
6. Menyusun sistem
pertahanan Madinah
7. Meletakkan dasar-dasar
keuangan negara.
A. Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Rasulullah SAW
Pemikiran Ekonomi Islam di awali sejak Nabi Muhammad SAW dipilih
sebagai seorang rasul (utusan allah). Adapun pemikiran-pemikiran pada masa itu
adalah:
1. Kebijakan
Moneter (Kebijikan Pengaturan Keuangan) pada Masa Nabi Muhammad SAW

Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar
dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran
uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor
dinar/ dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat
diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran
atau permintaan sehingga nilai uang stabil. Untuk menjaga kestabilan
ini,beberapa hal berikut dilarang:
a.
Permintaan yang tidak riil.
Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
b.
Penimbunan mata uang sebagaimana dilarangnya penimbunan barang.
c.
Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat
penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan
harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.
d.
Transaksi kali
bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun
transaksi future tanpa ada barangnya dilarang.
Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.[2]
2. Kebijakan
Fiskal (Pengeluaran dan Pendapatan Negara) Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan
(berupa pajak) pemerintah. Pada masa Rasulullah SAW tidak dikenal istilah
kebijakan fiskal, namun masyarakat mengenal kebijakan ini sebagai pendapatan
dan pengeluaran negara seperti pajak, khums dan lainnya. Pada zaman Rasulullah
pemikiran dan mekanisme kehidupan politik di negara Islam bersumber dan
berpijak pada nilai-nilai akidah. Lahirnya kebujakan fiskal di dalam dunia Islam
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya karena fiskal merupakan bangunan
dari instrumen ekonomi publik. Untuk itu faktor sosial, budaya dan politik
termasuk di dalamnya. Kondisi yang tidak menentu menjadikan Rasulullah
melakukan upaya yang terkenal dengan kebijakan fiskal, unsur-unsur yaang
terkandung dalam kebijakan fiskal diantaranya yaitu:
a. Sistem
Ekonomi
Sistem ekonomi yang ditetapkan Rasulullah bersumber dari Al-Qur’an.
Prinsip dasar Islam tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an
adalah:
1)
Allah
SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta. Manusia hanyalah khalifah Allah
SWT di muka bumi, bukan pemilik
sebenarnya.
2)
Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah
atas rahmat
Allah SWT.
Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki saudaranya.
3)
Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
4)
Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba
harus dihilangkan.
5)
Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi
kakayaan yang dapat mengeliminasisi berbagai konflik individu.
6)
Menghilangkan jurang pemisah antara golongan miskin dan
golongan kaya.
b. Keuangan
dan Pajak
Pada tahun awal sejak dideklarasikan sebagai negara, Madinah
hampir tidak memiiki sumber pendapatan ataupun pengeluaran negara. Seluruh
tugas negara dilkukan secara gotong royong dan sukarela. Rasulullah SAW sendiri
adalah seorang kepala negara yang juga merangkap sebagai ketua mahkamah agung,
mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab administrasi negara.
Ia tidak memperoleh gaji dari negara maupun masyarakat, kecuali hadiah-hadiah
kecil pada umumnya berupa bahan makanan. Dan pada masa itu juga belum ada
tentara dalam bentuk formal maupun tetap. Setiap muslim yang memiliki fisik
yang kuat dan mampu berperang bisa menjadi tentara. Mereka tidak memperoleh
gaji tetap tapi diperbolehkan mendapat harta dari hasil rampasan perang, seperti
senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainya.
Bangsa
arab di hijaz pada masa awal kedatangan Islam tidak mengenal mata uang sendiri,
mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules,
Byzantium dan dirham perak Dinasti Sasanid di Irak, dan sebagian mata uang
Bangsa Himyar dari Yaman. Penduduk Mekkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas
yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dengan timbangan. Hal ini
disebabkan karena banyaknya penipuan pada mata uang mereka, misalnya nilai yang
tertera melebihi nilai yang sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah
untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk
Mekkah ketika melakukan interaksi ekonomi.[4]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan pemerintah,
maka sumber pendapatan dan pengeluaran pada masa Rasulullah SAW antara lain
yaitu :
a. Sumber-Sumber
Pendapatan Negara
Rasulullah adalah seoarang kepala negara, memimpin di
bidang hukum, dan penanggung jawab dalam keseluruhan administrasi. Kekayaan
pertama yang resmi diperoleh adalah fay’i, yaitu harta peninggalan suku nadhir,
suku bangsa Yahudi yang ditinggal di pinggiran kota Madinah. Sumber pendapatan
negara antara lain :
1)
Jizyah, yakni pajak yang dibebankan
kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab,
sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan
ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Jizyah
disebut juga dengan Kharaj al-Ra's (pajak kepala).
Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap
orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
[5]
2) Kharaj, yaitu pajak atas
tanah. Di zaman Rasulullah Kharaj lebih mirip dengan Muzara`ah, di mana tanah taklukan
digarap oleh bangsa yang ditaklukkan dan hasilnya dibagi dengan kaum Muslimin
yang ikut dalam perang tersebut. Seperti tanah yang didapatkan dari
penaklukan Khaibar. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Rawahah
untuk menghitung hasil bumi kaum Khaibar.
3) Khums, yaitu seperlima dari harta rampasan
perang.di zaman Jahiliyah, harta rampasan perang yang diambil oleh penguasa
adalah seperempat, akan tetap hal itu diperbaiki oleh Islam dan dijadikan
seperlima. Empat
per lima sisanya diserahkan kepada tentara yang ikut perang. Pada umumnya, Rasulullah SAW membagi khums menjadi 3
bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya,
dan bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta para musafir. Khums mulai
ditetapkan pada tahun kedua hijrah melalui surat Al-Anfal ayat 41
:
۞وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ... ٤١
Artinya : “Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, ...(QS : Al Anfal : 41)[6]
4) Zakat, syariat zakat sudah ada
sejak periode Mekkah, seperti perintah zakat yang terdapat dalam surat
Makkiyah, seperti Rum ayat 38-39, Luqman ayat 4, al-Mu'minun ayat 4, al-Naml
ayat 1-3, al-A`raf ayat 256-157, dan Fushshilat ayat 6-7 akan tetapi zakat yang
diwajibkan di Mekkah hanyalah zakat mutlak yang tidak memiliki syarat dan
batasan tertentu. Pelaksanaan zakat hanya ditentukan oleh keimanan individu serta
perasaan kewajiban mereka terhadap sesama. Pada tahun kedua Hijriyah, Allah SWT mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat
fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma,
tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha' gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau
orang merdeka,
laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan
Shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah SWT. mewajibkan zakat mal (harta)
pada tahun kesembilan Hijriyah.
Di samping pendapatan di
atas, ada juga sumber pendapat Negara yang bersifat sekunder, seperti :
1)
Uang tebusan tawanan perang, khususnya pada perang Badar
2)
Khumus (seperlima) dari
harta rikaz
3)
Amwal al-Fadilah, yaitu harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
4)
Wakaf
5)
Nawa'ib, yaitu pendapatan
berupa sedekah dari Muslim dan Non Muslim dalam masa
darurat.[7]
Dalam beberapa kasus, Rasulullah mengumpulkan sedekah dari para sahabat untuk
memenuhi kebutuhan negara. Seperti
mengumpulkan harta untuk biaya perang Tabuk. Saat itu devisa negara habis dan para sahabat berlomba-lomba
untuk menyumbangkan hartanya. Dalam perang tersebut Utsman ibn Affan menyumbangkan harta sebanyak
1.000 dinar. Sumbangan dari Non-Muslim merupakan kesapakatan yang dicapai oleh
Rasulullah dengan Non-Muslim Madinah, dalam salah satu poin Piagam Madinah disebutkan
bahwa Kaum Muslimin dan Yahudi berkewajiban menafkahi diri mereka
masing-masing, akan tetapi bila terjadi perang keduanya bertanggung
jawab untuk menanggung biaya perang.[8]
Pemasukan di zaman Rasulullah tersebut dikelola oleh para sahabat yang
dianggap mampu untuk itu. Untuk mencatat ghanimah di zaman Rasulullah
ditunjuk Mu`aiqib ibn Abi Fatimah. Untuk menarik zakat dari para raja ditunjuk
Abdullah ibn al-Arqam. Untuk menarik zakat di daerah ditunjuk orang tertentu
yang kebanyakan berasal dari daerah tersebut, seperti Harts ibn Dharar yang
ditunjuk untuk mengumpulkan zakat kaumnya. Adapun yang bertugas untuk mencatat
pemasukan dari zakat ditunjuk Zubair ibn Awwam dan Juhaim ibn Shalt. Sementara
Mughirah ibn Syu`bah dan Hashim ibn Namir diberi tugas untuk mencatat utang
piutang dan transaksi mu`amalah.[9] Zakat
dan pemasukan lain dikelola secara terpisah karena zakat dan pajak mempunyai
sasaran yang berbeda.
b. Pengeluaran
Negara Di Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada
masa Rasulullah memang tidak tersedia, namun tidak berarti menimbulkan
kesimpulan bahwa sistem keuangan negara yang ada pada waktu itu tidak berjalan
dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah
adalah :
1)
Gaji Pegawai, seperti wali, qadhi,
guru, imam, muadzin, dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah
senantiasa memilih pegawai dari sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari
mereka berasal dari Bani Umayyah, dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di
masa itu karena pejabat kaya tidak mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada
saat itu para pegawai digaji 1 dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat
tersebut yang dengan kerelaan tidak menerima gaji itu.[10]
2) Pembayaran
upah sukarelawan
3) Biaya pertahanan dan
keamanan (militer)
4) Pembayaran
utang Negara
5) Bantuan
untuk para Musafir
6) Penerimaan
dari zakat disalurkan sesuai dengan aturan Al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf yang
telah ditetapkan. Rasulullah senantiasa memberikan perintah yang
jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat.
Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan harta
zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada
di simpan
dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima
oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada
kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat, Rasulullah sangat menaruh perhatian
terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran
yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing
menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya,
orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih
besar daripada orang yang belum menikah.[11]
Di samping pengeluaran di
atas, ada juga pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti :
1)
Bantuan untuk orang yang
belajar agama di Madinah (Bea Siswa)
2)
Hiburan untuk para delegasi keamanan
3)
Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta untuk biaya transportasi mereka
4)
Hadiah untuk pemerintah negara lain
5)
Penebusan kaum muslimin yang menjadi budak
6)
Pembayaran diyat bagi orang yang terbunuh oleh
pasukan muslim
7)
Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin
8)
Tunjangan orang miskin
9)
Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
10)
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sedikit, yaitu 80 butir
kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).[12]
c. Baitul
Maal
Harta yang merupakan pendapatan negara di simpan di
masjid dalam jangka waktu singkat untuk kemudian didistribusikan kepada
masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Namun, tidak disebutkan
adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin
terjadi di lingkungan yang mempunyai
sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi
ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi
negara, terutama pada masa
pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.[13]
1)
Pendapatan Baitul Mal
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa
pemerintahan Rasulullah SAW tidak bersumber dari zakat saja. Pada masa ini,
sisi penerimaan negara terdiri dari: Kharaj, Zakat, Khums, Jizyah,
serta penerimaan lainnya, seperti kaffarah dan harta waris dari orang yang tidak
menjadi ahli waris.
2)
Pengeluaran Baitul Mal
Pada masa Rasulullah SAW dana Baitul Mal
dialokasikan untuk penyebaran Islam, pendidikan dan kebudayaan, pengembangan
ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur, pembangunan armada perang,
keamanan, dan penyediaan layanan kesejahteraan sosial.
Penerimaan negara secara keseluruhan pada masa Nabi
Muhammad SAW tidak tercatat secara sempurna. Catatan pengeluaran secara rinci
pada masa ini juga tidak ada. Namun demikian, tidak bisa diambil kesimpulan
bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam
banyak kasus, pencatatan diserahkan kepada pengumpul zakat dan setiap orang
umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada
disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah SAW. beliau juga menyita setiap
hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat, sekaligus memberikan teguran
kepadanya.
B. Perkembangan Sistem
Ekonomi Pada Masa Khulafaur Rasyidin (4 Sahabat)
Perkembangan dan pemikiran ekonomi di masa ini diawali
dari meninggalnya nabi Muhammad SAW dan kekhalifahan diteruskan oleh Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
1. Perkembangan Sistem
Ekonomi pada Masa Abu Bakar Ash- Shiddiq
Setelah
Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn
Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai
khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama sekaligus
kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar
Al-Shiddiq banyak menghadapi
persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan
hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan
untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang
disebut sebagai Perang Riddah (Perang Melawan Kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam
negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara
untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat
Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[14]
Dengan
demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq,
harta Baitul Mal yang berada di bawah pengawasan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah[ tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang
lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq
wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil
pendapatan negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun
yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi
pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang
pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di
samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya
dengan yang miskin.
2. Perkembangan Sistem
Ekonomi pada Masa Umar bin Khattab
Pada
masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak melakukan ekspansi
hingga wilayah Islam meliputi
Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh
wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas
keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar
sebagai the Saint Paul of Islam.
Di samping itu, Umar juga banyak melakukan terobosan di bidang
ekonomi. Sehingga pada Masa Umar keuangan dan ekonomi negara dikelola secara
teratur dan professional.
a) Pendirian
Lembaga Baitul Mal
Baitul Mal sudah ada sejak masa Nabi. Akan
tetap fungsinya hanya sebagai tempat persinggahan harta sementara sebelum
dibagikan kepada fakir miskin. Di masa Umar Baitul Mal berfungsi sebagai
simpanan Aset Negara. Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal
dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai
Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat
500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut
sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak
bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal
tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan
untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai
cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun
berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat
ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur
dalam mengelola harta Baitul Mal. Lembaga keuangan di zaman Umar
bersifat terpisah dan independent dari kekuasaan eksekuti. Di tingkat provinsi, pejabat yang
bertanggung jawab terhadap
harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan
tugasnya serta bertanggung jawab langsung
kepada pemerintah pusat. Untuk mengelola administrasi keuangan di Baitul Mal, Umar
menunjuk orang-orang Persia yang memang dikenal sebagai orang-orang yang handal
dalam masalah administrasi dan pembukuan.
Untuk mendistribusikan harta
Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
1)
Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi
untuk mendistribusikan
dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
2)
Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas
pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
3)
Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini
mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta
keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
4)
Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang
menderita.[15]
b) Kepemilikan
Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar,
wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya
daerah-daerah
yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara
damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan
yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang
akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil
ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan
tersebut dibagikan kepada mereka
yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut.
Muadz bin Jabal,
salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila
engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian
yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan
meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang
saja”. Di samping itu
pembagian tanah kepada orang yang ikut perang akan melahirkan tuan tanah yang
memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Umar memutuskan bahwa
tanah tersebut tetap ada dan diambil pajaknya (Kharaj). Sehingga dengan
demikian pemerintah mempunyai sumber penghasilan tetap.
Untuk kebijakan pengelolaan hasil Kharaj,
diserahkan kepada Pemerintahan Provinsi, maka tidak mengherankan kebijakan
tentang pengelolaan keuangan di masa Umar berbeda antara satu daerah dengan
daerah lain. Seperti :
1)
Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan
menjadi milik
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetapdimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
2)
Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di
bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
3)
Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan
selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
4)
Tanah yang tidak ditempati atau ditanami
(tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
5)
Di Sawad, kharaj dibebankan
sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
6)
Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap
pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
7)
Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran
tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
8)
Khalifah Umar juga mempunyai kebijakan untuk
mengkhususkan tanah pertanian untuk dimanfaatkan oleh fakir miskin.[16]
c) Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab
masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum
Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad di
Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena
zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas,
seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak
dikenakan zakat.
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa
pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi
menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa
bila mereka mau membayar ushr sarang
lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka
tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat
yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang
pertama dan sepersepuluh untuk madu
jenis kedua.
d) Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau
kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen
dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap
transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi
mengambil inisiatif untuk mendorong
usaha perdagangan dengan menghapus beamasuk
antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya
bersama dengan suku-suku yang
tunduk kepada kekuasaannya. Dengan demikian, di masa Nabi dan Abu Bakar,
Pemerintah belum menarik Ushur dari pedagang luar yang masuk
negara Islam. Akan tetapi di masa Umar hal ini sudah diterapkan terhadap
pedagang kafir yang berdagang atau lewat di daerah Islam. Hal ini
dilakukan Umar, karena pedagang Muslim dikenai bea cukai (ushur) apabila
masuk daerah kafir. Di samping itu, hal ini juga dengan pertimbangan
kemaslahatan kaum muslimin, terutama para pedagangan muslim.
e)
Sedekah dari non-Muslim
Tidak
ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan
kekayaannya terdiri dari hewan
ternak. Mereka
membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang
gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka,
tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan
malah membayar sedekah.
Nu’man ibn Zuhra memberikan
alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya
keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil
mereka dan menggandakan sedekah yang harus merekabayar dengan syarat mereka
setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka
setuju dan menerima untuk membayar
sedekah ganda.
f)
Penggalian Kanal
Kebijakan ekonomi lain yang dirancang oleh Khalifah Umar ibn
Khattab adalah menggali kanal untuk mempermudah proses ekspor-impor barang dari
Mesir ke Hijaz. Kanal digali dari Sungai Nil menuju Qalzam (laut merah). Kanal
yang digali Umar itu dikenal dengan Teluk Amirul Mukminin. Keberadaan kanal ini
memberikan konstribusi yang besar dalam perkembangan perekonomian kaum muslimin
ketika itu.[17]
g)
Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa
ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal
di Jazirah Arab, seperti dinar (koin
emas) dan dirham (koin perak). Bobot dinar adalah sama dengan satu
mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains
of barky. Oleh karena
ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah
tujuh per sepuluh.
Pada masa Umar, seiring dengan meningkatnya volume perdagangan.
Uang wesel atau cek sudah mulai dikenal dalam
transaksi perdagangan. Seperti ketika Umar mengimpor sejumlah barang dagangan
dari Mesir. Karena jumlahnya banyak dan proses distribusinya terhambat, maka
Umar menerbitkan Cek untuk itu.[18]
h) Klasifikasi
dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka,
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara
adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada
masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab
mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian,
yaitu :
1)
Pendapatan zakat. Pendapatan ini
didistribusikan di tingkat
lokal dan untuk ashanaf yang telah ditentukan al-Qur'an. Jika terdapat surplus,
sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mal pusat untuk kemudian dibagikan kepada
delapan ashnaf. Desentralisasi pengelolaan zakat merupakan salah
satu terobosan yang dilakukan Umar dalam bidang ekonomi.
2)
Pendapatan khums dan sedekah. Didistribusikan kepada para fakir miskin
atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan
apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan
menuju Damaskus, Khalifah
Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat
hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya
agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil
pendapatan sedekah dan
makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
3)
Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak
perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
4)
Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[19]
i) Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta
Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan
pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya
adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar
menempatkan dana pensiun
di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada
tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum
tahunan (atya). Dana pensiun
ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun
ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata
dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang
yang telah berjasa. Di samping itu, ahlul bait Rasul juga mendapatkan perhatian.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para
pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan
kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau
melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin,
membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang
tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan
tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya,
setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan
beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam
daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
Di
masa Umar juga telah dilaksanakan pengawasan terhadap keuangan negara. Bahkan
Umar telah mempraktekkan pemeriksaan kekayaan pejabat pemerintah. Untuk hal
yang satu ini beliau tidak pandang bulu. Sahabat-sahabat utama seperti Abu
Hurairah, Amr ibn Ash, Khalid ibn Walid dan lain sebagainya tidak luput dari
pemeriksaan Umar. Hal ini mungkin dilakukan Umar karena beliau sendiri sangat wara` dalam menggunakan fasilitas Negara. Di samping
itu Umar juga menunjuk Muhammad ibn Maslamah untuk
menerima pengaduan dari masyarakat.[21]
Selama masa jabatannya,
Umar telah berhasil membangun perekonomian masyarakat Islam, di masanya ada
jaminan sosial bagi anak yatim, fakir miskin dan orang-orang jompo, tunjangan
dan subsidi.
3. Perkembangan Sistem
Ekonomi pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung
selama 12 tahun, terlama di antara para Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Utsman ibn Affan
berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia,
Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania,
dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan
Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya,
Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka
pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan
jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn
Affan juga membentuk armada laut
kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah,
hingga berhasil membangun supremasi kelautannya diwilayah
Mediterania. Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara
menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian,
pemerintahan Khalifah Utsman ibn
Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk
memelihara
angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah
dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam
hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara
negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman
ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya
masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam
pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Di samping
itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah
dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga
mengurangi zakat dari dana pensiun.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn
‘Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah
Utsman ibn ‘Affan yang banyak telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam
pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya
lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang
khlifah.[22]
4. Perkembangan Sistem
Ekonomi pada Masa Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi
Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi
uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk
pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian
atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan
diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini
mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi
negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan
tunjangan bagi para pengikutnya di
Irak.
Khalifah
Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan
dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan
kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta
tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas
pelaksanaan dispensasi keadilan serta
pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan
dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[23]
Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Ali adalah
kebijakan beliau untuk mengeluarkan Uang Cetakan dalam pemerintahan Islam
ketika itu. Setelah Persia ditaklukkan, kaum muslimin mulai diperkenalkan
kepada teknologi percetakan uang. Pada masa pemerintahan Ali untuk pertama
kalinya secara resmi uang dicetak dengan menggunakan nama pemerintah Islam.
Untuk tunjangan dana pensiun, Ali mempunyai kebijakan yang sama
dengan Abu Bakar. Beliau tidak membedakan antara sahabat atau kaum muslimin
berdasarkan tingkat keimanan dan dahulunya mereka masuk Islam. Menurutnya
masalah keimanan hanyalah Allah yang bisa menentukan. Kebijakan beliau ini
berbeda dengan kebijakan Umar, yang memberikan tunjangan yang berbeda kepada
para sahabat sesuai dengan Kontribusinya terhadap
perkembangan Islam.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan materi yang telah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa :
1.
Peran Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan pembuat keputusan
di berbagai bidang kehidupan termasuk di bidang perekonomian baru dapat
dilaksanakan ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Setelah di Madinah, Rasulullah
menetapkan berbagai kebijakan moneter dan fiskal yang menjadi titik awal
berdirinya negara Madinah. Kebijakan moneter dilakukan untuk mengatur peredaran
uang (dinar dan dirham), sedangkan kebijakan fiskal menyangkut kebijakan dalam
hal pendapatan dan pengeluaran negara saat itu.
Perkembangan
ekonomi di masa sahabat semakin berkembang mengingat semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam saat itu, sehingga kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para
sahabat saat mereka menjadi khalifah berbeda-beda tergantung situasi yang
dihadapi saat itu. Seperti terbentuknya terbentuknya depertemen-departemen baitul
maal, penggalian kanal, mencetak uang sendiri dan lain-lainnya. Intinya adalah
perkembangan ekonomi dari masa ke masa berkembang ke arah yang lebih baik.
2.
Perkembangan ekonomi di masa Rasulullah SAW dan para
sahabat tentu saja mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan faktor kekuasaan
wilayah yang semakin meluas ke berbagai daerah sampai keluar jazirah Arab
sehingga segala kebijakan harus dikembangkan mencakup seluruh wilayah Islam.
Selain itu permasalahan yang dihadapi pada masa sahabat lebih berkembang,
sehingga diperlukan tindakan-tindakan/ kebijakan-kebijakan yang disesuaikan
dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan sekitar asalkan tidak keluar dari
koridor Islam.
![]() |
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Boedi., Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2011
Afzalurrahman., Doktrin Ekonomi Islam, PT.
Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta, 1995
Azra, Azyumardi., dkk., Esiklopedi Islam, Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta: tt, Jilid I.
Chamid, Nur. Jejak langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2001
Chamid, Nur. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya,
Mega Jaya Abadi, 2007
Ibrahim Abu Sinn, Ahmad., Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006
Karim,
Adiwarman., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Mujahidin,
Ahmad. Ekonomi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Rivai, Veithzal. Islamic marketing; Membangun dan Mengembangkan Bisnis dengan Praktik Marketing Rasulullah SAW. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.2012
Supriyadi, Dedy., Sejarah Peradaban Islam .,
Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Sya’labi, Ahmad., Sejarah
Dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta : 1994
Yatim, Badri.,
Sejarah Peradaban Islam ,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
[1]
Dedy Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam ., Bandung: Pustaka
Setia. 2008. H.63-65
[2] http://badilag.net/Sistem_Ekonomi_Islam_pada_masa_Rasulullah.pdf, diakses pada 11 Januari 2017, 17;35
[5]
http://catatansyamsuatir.blogspot.co.id/2015/03/perekonomian-pada-masa-rasulullah-dan.html diakses pada 11 Januari 2017, 17:35
[6] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan
Terjemahnya, Surabaya, Mega Jaya
Abadi, 2007. h. 75
[7]
Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. h. 45-48
[8]
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006. h. 85