Friday, 17 February 2017

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH PADA MASA RASULULLAH SAW DAN KHULAFAUR RASYIDIN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kegiatan Dakwah Rasulullah SAW dalam mengembangkan Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan Periode Madinah. Dalam periode Mekkah, kegiatan dakwah Rasulullah SAW banyak dihadapkan kepada tekanan kaum kafir quraisy dan praktis selama perode Mekkah Rasulullah SAW tidak menjalankan peran sebagai pemimpin negara. Peran Rasulullah sebagai pemimpin negara dimulai pada periode Madinah. Dalam perode ini, Rasulullah menjalankan fungsinya sebagai seorang negarawan, seperti kegiatan beliau dalam menata kehidupan sosial masyarakat, mengatur tata perekonomian negara dan meningkatkan kemakmuran masyarakat sebagai warga negara.
Kedatangan Rasulullah ke Madinah, seolah mempertemukan dua hal yang saling membutuhkan. Rasulullah SAW selama di Mekkah, seolah tidak menemukan lahan yang subur untuk mengembangkan dakwahnya. Sementara sebelum kedatangan Rasulullah SAW, situasi kota Madinah/ Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Suku Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah SAW segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam secara perlahan-lahan. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani. Sebagai sebuah negara yang baru lahir, maka persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang dihadapi Rasulullah karena Madinah ketika itu belum mempunyai aset negara. Dari sini peran Rasulullah dalam menata perekonomian umat Islam dimulai untuk kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya, diantaranya Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pemakalah dapat merumuskan permasalahan pada makalah ini yaitu :
1.   Bagaimanakah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin?
2.   Adakah perbedaan mengenai perkembangan ekonomi di masa Rasulullah SAW dan sahabat ?


BAB II
PEMBAHASAN

Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Tujuan dan pencanangan strategis dalam bidang ekonomi adalah untuk memungkinkan setiap pribadi muslim memenuhi kebutuhan hidup mereka serta bisa merasakan ksejahteraan (welfare) dalam kehidupan mereka.
Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam Rasulullah bertindak sebagai pengawas pasar (market controller).
Kondisi negara baru yang dibentuk ini, tidak diwarisi sumber keuangan sedikitpun sehingga sulit dimobilisasi dalam waktu dekat. Karenanya Rasulullah SAW segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat di Madinah[1], yaitu:
1.   Membangun masjid Nabawi yang berperan sebagai Islamic Centre (sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya)
2.   Menjalin Ukhuwwah Islamiyyah antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
3.   Menjalin kedamaian dalam negara.
4.   Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya.
5.   Membuat konstitusi negara.
6.   Menyusun sistem pertahanan Madinah
7.   Meletakkan dasar-dasar keuangan negara.

A. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Rasulullah SAW
Pemikiran Ekonomi Islam di awali sejak Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai seorang rasul (utusan allah). Adapun pemikiran-pemikiran pada masa itu adalah:
1.   Kebijakan Moneter (Kebijikan Pengaturan Keuangan) pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk tujuan tertentu. Tujuan kebijakan moneter menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol jumlah uang yang beredar. Pada masa Rasulullah SAW tidak dikenal istilah kebijakan moneter, namun bangsa Arab saat itu sudah menggunakan alat tukar resmi sebagai mata uang yang digunakan bangsa Arab pada masa itu yakni Dinar dan Dirham. Dirham diasumsikan sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham, sedangkan jika diasumsikan dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham. Sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Bila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/ dirham diimpor. Sebaliknya, bila mereka mengimpor barang, berarti dinar/ dirham diekspor.
Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/ dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaan sehingga nilai uang stabil. Untuk menjaga kestabilan ini,beberapa hal berikut dilarang:
a.       Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
b.      Penimbunan mata uang  sebagaimana dilarangnya penimbunan barang.
c.       Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.
d.       Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.[2]

2.   Kebijakan Fiskal (Pengeluaran dan Pendapatan Negara) Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Pada masa Rasulullah SAW tidak dikenal istilah kebijakan fiskal, namun masyarakat mengenal kebijakan ini sebagai pendapatan dan pengeluaran negara seperti pajak, khums dan lainnya. Pada zaman Rasulullah pemikiran dan mekanisme kehidupan politik di negara Islam bersumber dan berpijak pada nilai-nilai akidah. Lahirnya kebujakan fiskal di dalam dunia Islam dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya karena fiskal merupakan bangunan dari instrumen ekonomi publik. Untuk itu faktor sosial, budaya dan politik termasuk di dalamnya. Kondisi yang tidak menentu menjadikan Rasulullah melakukan upaya yang terkenal dengan kebijakan fiskal, unsur-unsur yaang terkandung dalam kebijakan fiskal diantaranya yaitu:
a.    Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang ditetapkan Rasulullah bersumber dari Al-Qur’an. Prinsip dasar Islam tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an adalah:
1)      Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta. Manusia hanyalah khalifah Allah SWT di muka bumi, bukan pemilik sebenarnya.
2)      Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
3)      Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
4)      Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba harus dihilangkan.
5)      Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kakayaan yang dapat mengeliminasisi berbagai konflik individu.
6)      Menghilangkan jurang pemisah antara golongan miskin dan golongan kaya.
7)      Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun suka rela.[3]
b.      Keuangan dan Pajak
Pada tahun awal sejak dideklarasikan sebagai negara, Madinah hampir tidak memiiki sumber pendapatan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilkukan secara gotong royong dan sukarela. Rasulullah SAW sendiri adalah seorang kepala negara yang juga merangkap sebagai ketua mahkamah agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab administrasi negara. Ia tidak memperoleh gaji dari negara maupun masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil pada umumnya berupa bahan makanan. Dan pada masa itu juga belum ada tentara dalam bentuk formal maupun tetap. Setiap muslim yang memiliki fisik yang kuat dan mampu berperang bisa menjadi tentara. Mereka tidak memperoleh gaji tetap tapi diperbolehkan mendapat harta dari hasil rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainya.
Bangsa arab di hijaz pada masa awal kedatangan Islam tidak mengenal mata uang sendiri, mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byzantium dan dirham perak Dinasti Sasanid di Irak, dan sebagian mata uang Bangsa Himyar dari Yaman. Penduduk Mekkah tidak memperjualbelikan barang kecuali dengan emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dengan timbangan. Hal ini disebabkan karena banyaknya penipuan pada mata uang mereka, misalnya nilai yang tertera melebihi nilai yang sebenarnya. Nabi SAW memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekkah ketika melakukan interaksi ekonomi.[4]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan pemerintah, maka sumber pendapatan dan pengeluaran pada masa Rasulullah SAW antara lain yaitu :
a.    Sumber-Sumber Pendapatan Negara
Rasulullah adalah seoarang kepala negara, memimpin di bidang hukum, dan penanggung jawab dalam keseluruhan administrasi. Kekayaan pertama yang resmi diperoleh adalah fay’i, yaitu harta peninggalan suku nadhir, suku bangsa Yahudi yang ditinggal di pinggiran kota Madinah. Sumber pendapatan negara antara lain :
1)      Jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Jizyah disebut juga dengan Kharaj al-Ra's (pajak kepala). Besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini. [5]
2)      Kharaj, yaitu pajak atas tanah. Di zaman Rasulullah Kharaj lebih mirip dengan Muzara`ah, di mana tanah taklukan digarap oleh bangsa yang ditaklukkan dan hasilnya dibagi dengan kaum Muslimin yang ikut dalam perang tersebut. Seperti tanah yang didapatkan dari penaklukan Khaibar. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Rawahah untuk menghitung hasil bumi kaum Khaibar.
3)      Khums, yaitu seperlima dari harta rampasan perang.di zaman Jahiliyah, harta rampasan perang yang diambil oleh penguasa adalah seperempat, akan tetap hal itu diperbaiki oleh Islam dan dijadikan seperlima. Empat per lima sisanya diserahkan kepada tentara yang ikut perang. Pada umumnya, Rasulullah SAW membagi khums menjadi 3 bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin serta para musafir. Khums mulai ditetapkan pada tahun kedua hijrah melalui surat Al-Anfal ayat 41 :
۞وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ... ٤١
Artinya : “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, ...(QS : Al Anfal : 41)[6]
4)      Zakat, syariat zakat sudah ada sejak periode Mekkah, seperti perintah zakat yang terdapat dalam surat Makkiyah, seperti Rum ayat 38-39, Luqman ayat 4, al-Mu'minun ayat 4, al-Naml ayat 1-3, al-A`raf ayat 256-157, dan Fushshilat ayat 6-7 akan tetapi zakat yang diwajibkan di Mekkah hanyalah zakat mutlak yang tidak memiliki syarat dan batasan tertentu. Pelaksanaan zakat hanya ditentukan oleh keimanan individu serta perasaan kewajiban mereka terhadap sesama. Pada tahun kedua Hijriyah, Allah SWT mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha' gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan Shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah SWT. mewajibkan zakat mal (harta) pada tahun kesembilan Hijriyah.

Di samping pendapatan di atas, ada juga sumber pendapat Negara yang bersifat sekunder, seperti :
1)      Uang tebusan tawanan perang, khususnya pada perang Badar
2)      Khumus (seperlima) dari harta rikaz
3)      Amwal al-Fadilah, yaitu harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
4)      Wakaf
5)      Nawa'ib, yaitu pendapatan berupa sedekah dari Muslim dan Non Muslim dalam masa darurat.[7] Dalam beberapa kasus, Rasulullah mengumpulkan sedekah dari para sahabat untuk memenuhi kebutuhan negara. Seperti mengumpulkan harta untuk biaya perang Tabuk. Saat itu devisa negara habis dan para sahabat berlomba-lomba untuk menyumbangkan hartanya. Dalam perang tersebut Utsman ibn Affan menyumbangkan harta sebanyak 1.000 dinar. Sumbangan dari Non-Muslim merupakan kesapakatan yang dicapai oleh Rasulullah dengan Non-Muslim Madinah, dalam salah satu poin Piagam Madinah disebutkan bahwa Kaum Muslimin dan Yahudi berkewajiban menafkahi diri mereka masing-masing, akan tetapi bila terjadi  perang keduanya bertanggung jawab untuk menanggung biaya perang.[8]
Pemasukan di zaman Rasulullah tersebut dikelola oleh para sahabat yang dianggap mampu untuk itu. Untuk mencatat ghanimah di zaman Rasulullah ditunjuk Mu`aiqib ibn Abi Fatimah. Untuk menarik zakat dari para raja ditunjuk Abdullah ibn al-Arqam. Untuk menarik zakat di daerah ditunjuk orang tertentu yang kebanyakan berasal dari daerah tersebut, seperti Harts ibn Dharar yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat kaumnya. Adapun yang bertugas untuk mencatat pemasukan dari zakat ditunjuk Zubair ibn Awwam dan Juhaim ibn Shalt. Sementara Mughirah ibn Syu`bah dan Hashim ibn Namir diberi tugas untuk mencatat utang piutang dan transaksi mu`amalah.[9] Zakat dan pemasukan lain dikelola secara terpisah karena zakat dan pajak mempunyai sasaran yang berbeda.
b.   Pengeluaran Negara Di Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa Rasulullah memang tidak tersedia, namun tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan negara yang ada pada waktu itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah adalah :
1)      Gaji Pegawai, seperti wali, qadhi, guru, imam, muadzin, dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah senantiasa memilih pegawai dari sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Umayyah, dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di masa itu karena pejabat kaya tidak mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada saat itu para pegawai digaji 1 dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat tersebut yang dengan kerelaan tidak menerima gaji itu.[10]
2)      Pembayaran upah sukarelawan
3)      Biaya pertahanan dan keamanan (militer)
4)      Pembayaran utang Negara
5)      Bantuan untuk para Musafir
6)      Penerimaan dari zakat disalurkan sesuai dengan aturan Al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf yang telah ditetapkan. Rasu­lullah senantiasa memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat. Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan harta zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada di simpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat, Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.[11]
Di samping pengeluaran di atas, ada juga pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti :
1)      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah (Bea Siswa)
2)      Hiburan untuk para delegasi keamanan
3)      Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta untuk biaya transportasi mereka
4)      Hadiah untuk pemerintah negara lain
5)      Penebusan kaum muslimin yang menjadi budak
6)      Pembayaran diyat bagi orang yang terbunuh oleh pasukan muslim
7)      Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin
8)      Tunjangan orang miskin
9)      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
10)  Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sedikit, yaitu 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).[12]

c.    Baitul Maal
Harta yang merupakan pendapatan negara di simpan di masjid dalam jangka waktu singkat untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun.[13]
1)   Pendapatan Baitul Mal
Sumber-sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Rasulullah SAW tidak bersumber dari zakat saja. Pada masa ini, sisi penerimaan negara terdiri dari: Kharaj, Zakat, Khums, Jizyah, serta penerimaan lainnya, seperti kaffarah dan harta waris dari orang yang tidak menjadi ahli waris.
2)   Pengeluaran Baitul Mal
Pada masa Rasulullah SAW dana Baitul Mal dialokasikan untuk penyebaran Islam, pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur, pembangunan armada perang, keamanan, dan penyediaan layanan kesejahteraan sosial.
Penerimaan negara secara keseluruhan pada masa Nabi Muhammad SAW tidak tercatat secara sempurna. Catatan pengeluaran secara rinci pada masa ini juga tidak ada. Namun demikian, tidak bisa diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam banyak kasus, pencatatan diserahkan kepada pengumpul zakat dan setiap orang umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah SAW. beliau juga menyita setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat, sekaligus memberikan teguran kepadanya.

B.     Perkembangan Sistem Ekonomi Pada Masa Khulafaur Rasyidin (4 Sahabat)
Perkembangan dan pemikiran ekonomi di masa ini diawali dari meninggalnya nabi Muhammad SAW dan kekhalifahan diteruskan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
1.   Perkembangan Sistem Ekonomi pada Masa Abu Bakar Ash- Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar Al-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang Melawan Kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[14]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq, harta Baitul Mal yang berada di bawah pengawasan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah[ tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.

2.   Perkembangan Sistem Ekonomi pada Masa Umar bin Khattab
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam.
Di samping itu, Umar juga banyak melakukan terobosan di bidang ekonomi. Sehingga pada Masa Umar keuangan dan ekonomi negara dikelola secara teratur dan professional.
a)   Pendirian Lembaga Baitul Mal
Baitul Mal sudah ada sejak masa Nabi. Akan tetap fungsinya hanya sebagai tempat persinggahan harta sementara sebelum dibagikan kepada fakir miskin. Di masa Umar Baitul Mal berfungsi sebagai simpanan Aset Negara. Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Lembaga keuangan di zaman Umar bersifat terpisah dan independent dari kekuasaan eksekuti.  Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat. Untuk mengelola administrasi keuangan di Baitul Mal, Umar menunjuk orang-orang Persia yang memang dikenal sebagai orang-orang yang handal dalam masalah administrasi dan pembukuan.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :
1)      Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk men­distribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
2)      Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
3)      Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
4)      Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[15]
b)   Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja”. Di samping itu pembagian tanah kepada orang yang ikut perang akan melahirkan tuan tanah yang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Umar memutuskan bahwa tanah tersebut tetap ada dan diambil pajaknya (Kharaj). Sehingga dengan demikian pemerintah mempunyai sumber penghasilan tetap.  
Untuk kebijakan pengelolaan hasil Kharaj, diserahkan kepada Pemerintahan Provinsi, maka tidak mengherankan kebijakan tentang pengelolaan keuangan di masa Umar berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Seperti :
1)      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
Muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.

2)      Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
3)      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
4)      Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
5)      Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
6)      Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gan­dum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan
ini telah disetujui khalifah.
7)      Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.
8)      Khalifah Umar juga mempunyai kebijakan untuk mengkhususkan tanah pertanian untuk dimanfaatkan oleh fakir miskin.[16]
c)   Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.
d)  Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus beamasuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Dengan demikian, di masa Nabi dan Abu Bakar, Pemerintah belum menarik Ushur dari pedagang luar yang masuk negara Islam. Akan tetapi di masa Umar hal ini sudah diterapkan terhadap pedagang kafir yang berdagang atau lewat di daerah Islam. Hal ini dilakukan Umar, karena pedagang Muslim dikenai bea cukai (ushur) apabila masuk daerah kafir. Di samping itu, hal ini juga dengan pertimbangan kemaslahatan kaum muslimin, terutama para pedagangan muslim.
e)      Sedekah dari non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
Nu’man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus merekabayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.
f)       Penggalian Kanal
Kebijakan ekonomi lain yang dirancang oleh Khalifah Umar ibn Khattab adalah menggali kanal untuk mempermudah proses ekspor-impor barang dari Mesir ke Hijaz. Kanal digali dari Sungai Nil menuju Qalzam (laut merah). Kanal yang digali Umar itu dikenal dengan Teluk Amirul Mukminin. Keberadaan kanal ini memberikan konstribusi yang besar dalam perkembangan perekonomian kaum muslimin ketika itu.[17]
g)      Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar (koin emas) dan dirham (koin perak). Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.
Pada masa Umar, seiring dengan meningkatnya volume perdagangan. Uang wesel atau cek sudah mulai dikenal dalam transaksi perdagangan. Seperti ketika Umar mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir. Karena jumlahnya banyak dan proses distribusinya terhambat, maka Umar menerbitkan Cek untuk itu.[18]
h)   Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
1)   Pendapatan zakat. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan untuk ashanaf yang telah ditentukan al-Qur'an. Jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mal pusat untuk kemudian dibagikan kepada delapan ashnaf. Desentralisasi pengelolaan zakat merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Umar dalam bidang ekonomi.
2)   Pendapatan khums dan sedekah. Didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
3)   Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun
dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
4)   Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[19]
i)     Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa. Di samping itu, ahlul bait Rasul juga mendapatkan perhatian.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
 Di masa Umar juga telah dilaksanakan pengawasan terhadap keuangan negara. Bahkan Umar telah mempraktekkan pemeriksaan kekayaan pejabat pemerintah. Untuk hal yang satu ini beliau tidak pandang bulu. Sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Amr ibn Ash, Khalid ibn Walid dan lain sebagainya tidak luput dari pemeriksaan Umar. Hal ini mungkin dilakukan Umar karena beliau sendiri sangat wara` dalam menggunakan fasilitas Negara. Di samping itu Umar juga menunjuk Muhammad ibn Maslamah untuk menerima pengaduan dari masyarakat.[21]
Selama masa jabatannya, Umar telah berhasil membangun perekonomian masyarakat Islam, di masanya ada jaminan sosial bagi anak yatim, fakir miskin dan orang-orang jompo, tunjangan dan subsidi.

3.   Perkembangan Sistem Ekonomi pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, terlama di antara para Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya diwilayah Mediterania. Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. la juga mengurangi zakat dari dana pensiun.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn ‘Affan yang banyak telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang khlifah.[22]

4.   Perkembangan Sistem Ekonomi pada Masa Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Sekalipun demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[23]
Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Ali adalah kebijakan beliau untuk mengeluarkan Uang Cetakan dalam pemerintahan Islam ketika itu. Setelah Persia ditaklukkan, kaum muslimin mulai diperkenalkan kepada teknologi percetakan uang. Pada masa pemerintahan Ali untuk pertama kalinya secara resmi uang dicetak dengan menggunakan nama pemerintah Islam.
Untuk tunjangan dana pensiun, Ali mempunyai kebijakan yang sama dengan Abu Bakar. Beliau tidak membedakan antara sahabat atau kaum muslimin berdasarkan tingkat keimanan dan dahulunya mereka masuk Islam. Menurutnya masalah keimanan hanyalah Allah yang bisa menentukan. Kebijakan beliau ini berbeda dengan kebijakan Umar, yang memberikan tunjangan yang berbeda kepada para sahabat sesuai dengan Kontribusinya terhadap perkembangan Islam.



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan materi yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa :
1.      Peran Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan pembuat keputusan di berbagai bidang kehidupan termasuk di bidang perekonomian baru dapat dilaksanakan ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Setelah di Madinah, Rasulullah menetapkan berbagai kebijakan moneter dan fiskal yang menjadi titik awal berdirinya negara Madinah. Kebijakan moneter dilakukan untuk mengatur peredaran uang (dinar dan dirham), sedangkan kebijakan fiskal menyangkut kebijakan dalam hal pendapatan dan pengeluaran negara saat itu.
Perkembangan ekonomi di masa sahabat semakin berkembang mengingat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam saat itu, sehingga kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para sahabat saat mereka menjadi khalifah berbeda-beda tergantung situasi yang dihadapi saat itu. Seperti terbentuknya terbentuknya depertemen-departemen baitul maal, penggalian kanal, mencetak uang sendiri dan lain-lainnya. Intinya adalah perkembangan ekonomi dari masa ke masa berkembang ke arah yang lebih baik.   
2.      Perkembangan ekonomi di masa Rasulullah SAW dan para sahabat tentu saja mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan faktor kekuasaan wilayah yang semakin meluas ke berbagai daerah sampai keluar jazirah Arab sehingga segala kebijakan harus dikembangkan mencakup seluruh wilayah Islam. Selain itu permasalahan yang dihadapi pada masa sahabat lebih berkembang, sehingga diperlukan tindakan-tindakan/ kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan sekitar asalkan tidak keluar dari koridor Islam.



 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi., Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011
Afzalurrahman., Doktrin Ekonomi Islam, PT. Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta, 1995
Azra, Azyumardi., dkk., Esiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta: tt, Jilid I.
Chamid, Nur. Jejak langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001
Chamid, Nur. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, Mega Jaya Abadi, 2007
Ibrahim Abu Sinn, Ahmad., Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
Karim, Adiwarman., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Mujahidin, Ahmad. Ekonomi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Rivai, Veithzal. Islamic marketing; Membangun dan Mengembangkan Bisnis dengan Praktik Marketing Rasulullah SAW. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.2012
Supriyadi, Dedy., Sejarah Peradaban Islam ., Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Sya’labi, Ahmad., Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta : 1994
Yatim, Badri., Sejarah Peradaban Islam , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994



[1] Dedy Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam ., Bandung: Pustaka Setia. 2008. H.63-65
[3] Chamih,Nur. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .2001. h. 56
[4] Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007. h. 49.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, Mega Jaya Abadi, 2007. h. 75
[7] Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. h. 45-48
[8] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006. h. 85
[9] Ibid., h. 35
[10] Ibid.,h. 88.
[11] Adiwarman A Karim, Op.Cit., h. 36
[12] Ibid.
[13] Ibid., h. 51-52
[14] Ibid.,h. 54-55
[15] Ibid., h. 62
[16]Ibid.,., h.. 65-68
[17] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Op.Cit, h 89
[18] Adiwarman A Karim, Op. Cit h. 161
[19] Ibid., h. 73-74
[20] Ibid., h. 74-78.
[21] Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Op.Cit, h. 41
[22] Adi Warman, Op Cit.., h. 78-82.
[23] Ibid., h. 82-85

No comments:

Post a Comment