BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi Islam tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah peradaban Islam
itu
sendiri. Walaupun sejumlah literatur tidak
secara implisit
menyebutkan keberadaan pemikiran ekonomi Islam, tetapi hal ini bukan
berarti
perkembangan ekonomi Islam tidak ada, karena dinamika
dan geliat masyarakat
Islam tatkala itu terus berjalan. Di samping itu, ekonomi bukanlah suatu disiplin ilmu yang
spesifik, sehingga ada kesan terjadi dikotomi antara
perkembangan
ilmu
tersebut
dengan perkembangan
sosial kemasyarakatan.
Jika
pemisahan itu terjadi,
hal tersebut hanyalah karena pemisahan antara
satu
persoalan dengan
persoalan lain
dalam mencari keridhaan Allah
SWT.
Konsep pemikiran para cendikiawan muslim berakar dari
hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya,
pemikiran-pemikiran yang muncul dari banyak tokoh/ pemikir mengenai suatu hal
yang berkaitan dengan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam adalah hasil
dari interaksi tokoh tersebut dengan lingkungan sosiokultural atau
sosiopolitiknya. Oleh karena itu, jika kita amati banyak hasil pemikiran
seseorang yang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini memperkuat
alasannya dengan merujuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran
yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil
interpretasi tersebut. Dalam konteks
usaha mengembangkan sistem ekonomi Islam, kita mencoba melihat sebuah konsep
pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk di
masa sekarang dan yang akan datang.
Untuk itu penulis
mencoba menyampaikan pokok–pokok pemikiran ekonomi dari salah satu ulama yaitu:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau
sangat jauh. Ia hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8
Hijriah, dia memiliki ilmu pengetahuan yang sangat dalam tentang ajaran Islam. Islam masa kini membutuhkan
pandangan ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu
itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam
berusaha dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara
yang adil dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi
dibolehkan, kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari'at.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan makalah ini mengenai
:
Berdasarkan
pemaparan yang telah disebutkan dalam pembahasan makalah ini, bagaimanakah
pemikiran ekonomi Islam dari tokoh Ibnu Taimiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat Ibnu Taimiyyah
Ibnu
Taimiyyah yang bernama lengkap Ahmad bin Abd
al-Halim bin
Abd al- Salam bin Abd Allah bin al-Khidr bin
Muhammad bin al-Khidir bin Ali bin Abdullah bin
Taimiyah al-Harani al-Damayqi
atau Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah lahir di
kota Harran pada tanggal
22 Januari 1263
M (10 Rabiul awwal 661 H), dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali[1]. Tradisi lingkungan keilmuan yang
baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam
tafsir,
hadist, fiqih,
matematika dan
filsafat dalam
usia
masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang
yang handal. Ayah, paman dan
kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku[2].
Berkat
kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda
telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih,
matematika dan filsafat, serta menjadi yang terbaik diantara
teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang,
diantarannya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khoir, Ibn Abi
Al-Yusr, dan Al- Kamal bin Abdul Majd bin Asakir. Pada masa mudanya ia mengungsi karena
perbuatan suku Mongol, dan tiba di Damaskus bersama orang tuanya pada 1268 M
pada waktu itu ia hampir
berusia enam tahun. Pada tahun 1282 M ketika ayahnya meninggal, Ibnu Taimiyah
menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Guru Besar Hukum Hambali dan
memangku jabatan ini selama 17 Tahun[3].
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas
pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu
ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu
Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato,
tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga di medan perang.
Penghormatan yang lebih besar yang diberikan
masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian
orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa
sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat
kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak
pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut
haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis
dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam tahanan pada tanggal 26 September 1328
M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama
lima bulan.
Sketsa Setting Politik, Sosial dan Ekonomi pada masa Ibnu Taimiyah
1. Politik
Sekitar 13 tahun sebelum Ibnu Taimiyah lahir, Dinasti Mamluk membangun kekuasaan di Suriah dan
Mesir. Penguasa pertama
dari Dinasti
Mamluk (1260-1383 M) dikenal dengan nama Bahrite
Mamluks.
Masa
pemerintahan awal dinasti itu bersamaan dengan
masa
hidup
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M),
ketika
ia tinggal
di Damaskus maupun di Kairo. Baibar menjadi
sultan Mesir pada tahun 1260-1277 M. Pada masanya, banyak ulama, ahli hukum tertarik pergi ke Mesir yang menjadi fokus dari per- kembangan dunia Islam dan pusat
peng kajian di dunia Islam pada saat itu. Setelah Baibar meninggal dunia,
Sultan
Nasir Muhammad Qawalun
menaiki tahta (1293-1341M). Inilah masa emas bagi
Dinasti Mamluk, Ia memperkenalkan sejumlah pembaruan politik
dan ekonomi dan memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Ia
sangat menghargai ulama para
ulama dan kaum terpelajar. Pada masa ini,
Ibnu Taimiyah mampu
meraih
pengalaman
akademik, politik dan ekonomi. Sultan Nasir memberinya
kedudukan yang tinggi
di antara para ulama, setelah dia dijemput dari
penjara
akibat
sejumlah
kesalahpahaman, perbedaan dan perselisihan pendapatnya dengan sejumlah ahli hukum
(ulama) yang menentang dirinya dan
gagasan-gagasannya[4].
2. Sosial
Struktur masyarakat Mamluk terbagi dalam
beberapa kelas, yakni bangsa Mamluk, yaitu mereka yang
seketurunan
dengan penguasa, para pemimpin yang
menduduki jabatan pemerintahan dan yang
ikut berperang. Kaum serbanan (ahl al-imamah), yaitu
mereka yang bekerja di sejumlah kantor pemerintahan.
Kelas para pedagang dan pengusaha mereka sangat kaya raya karena
berkembangnya
sektor perdagangan. Kelas masyarakat
lainnya, yaitu: para
buruh,
perajin, pedagang kecil dan
kaum
miskin. Mayoritas di antara mereka adalah
kaum
fallahin (petani dan
buruh
tani).
Kondisi mereka sangat buruk
karena menjadi sasaran dari berbagai
pungutan pajak
yang tak sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat di wilayah
itu.
3. Ekonomi
Orang-orang Mamluk
mengetahui bahwa stabilitas dan kesuksesan
pemerintahannya sangat tergantung pada kekuatan
ekonomi. Oleh karena itu mereka berusaha menggali sumber-sumber
kesejahteraan, mengembangkan pertanian, perdagangan dan industri. Sektor pertanian
memperoleh
prioritas pertama masa itu sebagai sumber
utama
kesejahteraan
masyarakat.
Karena kehidupan masyarakat pada
waktu itu sangat
tergantung
kepada hasil produksi pertanian. Sejumlah lahan tanah pada masa Dinasti Mamluk
didistribusikan kepada para Amir sebagai bentuk
iqta‟ (pengganti gaji atau
tanah ganjaran) sebagai bentuk
hadiah dari pemerintah.[5]
Masa Dinasti Mamluk berkembang berbagai macam jenis industri di Mesir dan
Suriah, seperti: industri tekstil,
logam, pembangunan kapal, pertukangan. Para sultan
memberi kemudahan untuk perkembangan
perdagangan domestik. Di setiap kota Mesir dan Suriah memiliki sejumlah
pasar.
Sedangkan untuk mengembangkan perdagangan luar negeri, para
sultan Mamluk
membuat perjanjian persahabatan dengan
negara-negara Eropa dengan mengembangkan hubungan kerja sama. Untuk pengembangan perdagangan dan
industri, lembaga hisbah memiliki peran
sangat penting. Tugas
utamanya melakukan
pengawasan
umum, khususnya
kegiatan
pasar dengan melakukan
pengecekan timbangan, ukuran, kualitas barang, menjaga jual beli yang
jujur dan menjaga
agar
harga selalu
konstan[6].
Sistem
mata uang semasa Dinasti Mamluk menggunakan tiga jenis mata uang,
yaitu uang dinar (emas), dirham
(perak), dan fulus (tembaga). Uang
dinar sangat langka, yang banyak digunakan adalah uang logam dari tembaga. Sirkulasi uang
dirham selalu berfluktuasi, kadang
langka di pasaran.
Secara umum, sistem mata uang selama
periode
itu
memang tidak stabil. Peredaran sejumlah besar mata uang tembaga fulus dan
peningkatan proporsi
dirham, menghilangkan kepercayaan terhadap mata uang, membuat nilainya merosot dan mendorong terjadinya situasi inflatoar yang
terus memburuk[7].
Secara umum,
sultan-sultan Mamluk
mengenakan pajak atas hasil pertanian, yang terbagi menjadi dua kategori: Pajak
atas penggarapan tanah, dan pajak atas kebun
buah-buahan, pajak dipungut oleh para muqta‟,
terkadang para pejabat kesultanan
diberi tanggung jawab untuk memungut
pajak. Sistem
pemungutan lainnya adalam
daman, di mana damin
(penjamin) membayar sejumlah uang jaminan, tak peduli
apakah hasil yang diperoleh dari penduduk nanti meningkat atau menurun. Ada
sejumlah diwan (departemen) yang menangani
berbagai pungutan pajak dan keuangan.
Misalnya: diwan al-rawatib, diwan al-sa‟id, diwan
al-jawali wal-mawarith
al-hasriyah, diwan al-kharaj, diwan al-hilali. Sebagai
pusat koordinator
dari
diwan-diwan tadi adalah Baitul
Mal. Ada istilah lain, misalnya diwan
al-nazar atau diwan
nazar al- dawamin, yang secara bergantian merupakan
bentuk lain dari Baitul Mal yang merupakan menteri keuangan. Seluruh rekening pendapatan dan pembelanjaan
pemerintah diatur
oleh
departemen ini. Pendapatan dari kharaj
diprioritaskan untuk pengeluaran
militer, membiayai keluarga kerajaan, pemerintahan
raja, para menteri, gubernur, wazir,
hakim, pengawas
diwan, akuntan,
para penulis, penyediaan pelayanan umum
seperti: dam, kanal, sekolah
dan rumah sakit menjadi
tanggungjawab
pemimpin departemen anggaran
pembelanjaan umum[8].
Pandangan Ibnu Taimiyyah
tentang masalah ekonomi sangat
jelas. Seluruh
kegiatan
ekonomi dibolehkan, kecuali apa yang secara tegas dilarang oleh syari‟at.
Dalam
batasan larangan syari‟at itu, semua
orang
mengetahui hal itu demi
kebaikan bagi mereka dan mereka bebas melakukan transaksi, membuat kontrak atau mengerjakan
berbagai masalah keduniaan
dengan cara yang adil dan jujur. Hal ini mengikuti doktrin Islam
pokok dari tauhid dan
secara wajar
mementingkan keadilan. Berkaitan
dengan keadilan ini,
beliau menulis,
“Keadilan berkait dengan tauhid dan
tauhid merupakan fondamen dari keadilan. Inilah
yang memberikan keunggulan
berkaitan dengan korupsi, yang
merupakan dasar dan
fondasi dari ketidakadilan.
B. Hasil Karya Ibnu
Taimiyah
Hasil karya pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah seperti Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah
Asy-Syar‟iyyah fi Ishlah Ar-Ra’I wa Ar- Ra’iyah,serta Al-Hisbah fi Al-Islam. Selain
karya tersebut Ibnu Taimiyah mengarang buku mencapai tiga ratus jilid, antara lain
Iqtifa
Al-Sirat Al-Mustaqim wa Mukhalaf as-Hab
Al-jalum,
Fatwa Ibnu Taimiyah, Al- Sarim Al-Maslul Al-Syatim Al-Rasul, Al-
Sarim Al-Maslul
fi Bayan Wajibat Al-
Ummah Nahwa Al-Rasul,
al-Jawab Al-Sahih li Man
Baddala Din Al-Masih dan
sejumlah
buku
lain di bidang fiqih[9].
C. Pemikiran
Ekonomi Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak
diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa
Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah,
serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro
ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang
dan kebijakan moneter.[10]
1. Harga
yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah
ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat
menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu,
hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya
harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW menggolongkan riba sebagai penjualan yang
terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam
beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam
kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut
menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan harga yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqaha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah
harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih
mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl).
Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus
terhadap permasalahan harga yang adil.
2. Mekanisme
Harga
Mekanisme harga adalah proses yang
berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari
pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor
produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai
tukar suatu unit benda tertentu[11].
Ada dua tema yang sering kali
ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni
kompensasi yang setara/ adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/ adil
(tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan
diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs
al-‘adl)”.[12]
a.
‘Iwad
al-mitsl adalah penggantian sepadan yang
merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan.
Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi
dari keadilan.
b.
Tsaman
al-mitsl adalah nilai harga dimana
orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang
sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis
lainnya di tempat dan waktu tertentu.
3. Mekanisme
pasar
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah
pertemuan antara permintaan (demand)
dan penawaran (supply). Dalam
pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan
fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan dan penawaran dinamakan equilibrium
price (harga seimbang)[13].
Ibnu
Taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar
bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan. Ia mengatakan;
“naik turunnya
harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh
seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi
atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan
terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya
menurun,harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan
penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun,harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh
perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan
ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha
besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia”[14].
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga
yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para
penjual. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi,
karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar[15]. Tampaknya
ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi
akibat ketidakadilan atau malapraktek dari para penjual, sehingga kata yang
digunakan adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.
Ibnu Taimiyah
menyebutkan dua sumber persedian, yakni produksi lokal dan impor barang-barang yang
diminta (mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap
suatu barang tertentu, ia
menggunakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan
dalam supply digambarkannya
sebagai kenaikan atau penurunan dalam
persediaan barang-barang, yang di sebabkan oleh dua faktor, yakni
produksi lokal dan
impor[16].
Pernyataan Ibnu
Taimiyah diatas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai
perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan
permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang sama atau,
sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan
persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai
dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami
kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.[17]
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya
beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga
akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan
cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan
harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah
barang (qillah al-syai),atau peningkatan jumlah
penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[18]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas tampaknya menggambarkan
perubahan secara terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhnya penawaran. Sedangkan
meningkatnya penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan,
karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya permintaan. Naiknya harga
karena jatuhnya supply atau naiknya permintaan, dalam kasus itu
dikarakteristikkan karena Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan
kondisi alamiah yang impersonal.
Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan yang rinci tentang
beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut
:[19]
a.
Permintaan masyarakat (al-ragabah)
yang sangat bervariasi (people’s desire) terhadap barang. Faktor ini
tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang
akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce) daripada yang
banyak jumlahnya.
b.
Tergantung kepada jumlah orang
yang membutuhkan barang (demander/ consumer/ tullab). Semakin
banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.
c.
Harga juga dipengaruhi oleh kuat
lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya
permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka
harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah
dan sedikit.
d.
Harga juga akan bervariasi
menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli
merupakan orang kaya dan terpercaya (credibel) dalam membayar
kewajibannya, maka ia
akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah.
e.
Tingkat harga juga dipengaruhi
oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis
mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima
secara luas.
f.
Tujuan
transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara kedua belah
pihak
g.
Besar
kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
4.
Regulasi harga
Regulasi harga adalah pengaturan
terhadap harga barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini
bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi
kebutuhan pokoknya.[20]
Ibnu
Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni
penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil
dan sah menurut hukum. Penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan
pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni
kelangkaan supply atau kenaikan demand.[21] Selain itu, dapat pula memaksaan penduduk
menjual barang-barang dagangan tanpa
dasar kewajiban untuk
menjual, merupakan
tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan
itu
dilarang; Penetapan
harga yang adil dan sah
yakni penetapan harga yang saat pemerintah memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang
jujur,
jika penduduk sangat membutuhkannya. Dalam
menetapkan harga,
tingkat tertinggi dan
terendah
bisa ditetapkan, sehingga kepentingan dua pihak, penjual dan pembeli terlindungi. Ibnu
Taimiyah tidak menyukai kebijakan penetapan harga
oleh
pemerintah, jika kekuatan
pasar yang kompetitif bekerja
dengan baik dan bebas. Ia merekomendasikan kebijakan penetapan harga, dalam kasus terjadi monopoli dan ketidaksempurnaan
mekanisme pasar.
Pada kondisi
terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan
harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan
pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau
perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli.
Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil
bagi penjual dan pembeli.[22]
Ibnu Taimiyah menentang
peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk
menentukan harga yang kompetitif, dengan tetap memperhatikan pasar tidak
sempurna. Ibnu Taimiyah merekomendasikan bahwa bila
penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga yang normal, padahal orang-orang membutuhkan barang
ini, maka penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen.
Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga yang
adil. Lebih jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan
makanan dan kebutuhan pokok lainnya),
maka pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.[23]
Otoritas
pemerintah dalam
melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk
yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang
diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan
musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima
hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan
perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual beli, pemerintah harus
secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para
peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat
dengan hal itu.[24]
Jadi jelas bahwa
pemikiran Ibnu Taimiyah sangat memperhatikan keadaan pasar, bagaimana sikap
perintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun
menetapkan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah
dianjurkan untuk mengadakan pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun
syarat dan ketentuan juga dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam mengadakan
pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga, harus dilakukan dengan
musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyepakati dari hasil
musyawarah tersebut.
Dalam
kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk mencegah
manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu
dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi
harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam
menghadapi manipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar.
Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha
mikro dari kehancuran.[25]
a.
Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu
Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan
harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para
penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka
kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah)
dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka
akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar
yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang
kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan
harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang
monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena
akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
b. Musyawarah
untuk Menetapkan
Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga,
terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat
terkait. Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan
bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh
dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat
barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai
bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan
melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab
moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi
harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang
telah disinggung jasa mereka sementara masyarakat sangat
membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja,
pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini
adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling
mengeksploitasi diantara mereka.
5. Uang
dan Kebijakan Moneter
Fungsi uang menurut Ibnu Taimiyah
sebagai alat tukar
dan alat
ukur dari
nilai suatu benda, melalui uang itu dari sejumlah benda diketahui nilainya. Mengenai kebijakan moneter, Ibnu
Taimiyah berpendapat
bahwa pemerintah harus
mencetak
mata
uang yang sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman
didalamnya.
Dan
juga para
penguasa jangan mempelopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian
mencetaknya menjadi
mata
uang koin, bahkan pemerintah
harus mencetak mata
uang dengan harga yang
sebenarnya
tanpa
bertujuan mencari keuntungan apapun
dari pencetakannya
agar
kesejahteraan
publik terjamin.[26]

a. Karakteristik
dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan
dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi
sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, “Atsman
(harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai
pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah
nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak
pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk
perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan
sebenarnya. Apabila
uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan
secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan
cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh
berbagai kebutuhannya.
b. Penurunan
Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya
penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia
menyatakan, “Penguasa
seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai
dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa
menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu
Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlah mata uang,
total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus
harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk
menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang,
misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak
seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang
tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
c. Mata
Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas
buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia
menggambarkan hal ini sebagai berikut: “Apabila penguasa
membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang
lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang
karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah
melakukan kezaliman karena menghilangkan nlai tinggi yang semula
mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan
menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata
uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka
akan membawanya ke daerah
lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk
dibawa lagi ke daerahnya.
Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur[27].
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah
menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi
masyarakat yang sudah terlanjur
memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagai mata uang, berarti hanya diberlakukan
sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan
ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata
uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk
barang-barang mereka.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan pada pembahasan materi sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa :
Ulama-ulama klasik Islam tidak hanya berkutat pada agama
dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada
masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi
konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam). Ibnu
Taimiyah bukanlah
seorang
teoritis murni, juga bukan ahli sejarah ekonomi murni. Sikapnya lebih
seorang dokter praktik
yang
mendiagnosa penyakit dan memberikan resep untuk
mengobati, berikut pemikiran
Ibnu Taimiyah :
1. Menurut Ibnu Taimiyah penetapan harga oleh pemerintah adalah
baik, tapi
tidak
bersifat
absolut, karena sebenarnya harga ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Lain halnya, apabila kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan
mekanisme
pasar, pemerintah boleh
campur tangan dalam menetapkan
harga.
2. Teori Ibnu Taimiyah
tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik.
Menurut Ibnu Taimiyah, uang berkualitas buruk akan
menendang keluar uang yang berkualitas baik. Fungsi
utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of exchange for
transaction) dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua
kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk
kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang yang tidak
didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan
inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang,
karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya
jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang,
karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada
kenaikan harga-harga produk.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi., Peradaban
Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Afzalurrahman., Doktrin Ekonomi Islam, PT.
Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta, 1995
Amalia,
Euis.
Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam:
Dari
Masa
Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta: Pustaka Asatrus.
2005
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran
Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
2010.
Ibrahim Abu Sinn, Ahmad., Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006
Islahi, Abdul Azim.
1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyah. London: Islamic Foundation.
------------------------- Konsepsi Ekonomi
Ibnu
Taimiyah. (terj) Anshari Thayib. Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1997.
Karim, Adi Warman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro,
Jakarta: IIIT Indonesia. 2002.
------------------------------- Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2006
Misanan, Munrokhim. dkk., Text Book Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI
UII).
Mujahidin,
Ahmad. Ekonomi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Sudarsono,
Heri., Konsep Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Ekonosia, 2004.
[2] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, Ed. 3., h. 351.
[3] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, Cet. 1., h, 230.
[4] Abdul Azim
Islahi,. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (terj) Anshari Thayib. Surabaya: PT.
Bina Ilmu.,1997,
h. 15-18
[12]
Ibid.
[13]
Euis Amalia, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, Cet.1, h. 163-164.
[19]
Munrokhim Misanan
dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII), h. 155-156.
[21] Ibid., h. 368
No comments:
Post a Comment