Wednesday, 8 November 2017

PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH (661 H-728 H/1263-1328. M)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah peradaban Islam itu sendiri. Walaupun sejumlah literatur tidak secara implisit menyebutkan keberadaan pemikiran ekonomi Islam, tetapi hal ini bukan berarti perkembangan ekonomi Islam tidak ada, karena dinamika dan  geliat masyarakat Islam tatkala itu terus berjalan. Di samping itu, ekonomi bukanlah suatu  disiplin ilmu yang spesifik, sehingga ada kesan terjadi dikotomi antara perkembangan ilmu tersebut dengan perkembangan sosial kemasyarakatan. Jika pemisahan itu terjadi, hal tersebut hanyalah karena pemisahan antara satu persoalan dengan persoalan lain dalam mencari keridhaan Allah SWT.
Konsep pemikiran para cendikiawan muslim berakar dari hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran yang muncul dari banyak tokoh/ pemikir mengenai suatu hal yang berkaitan dengan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam adalah hasil dari interaksi tokoh tersebut dengan lingkungan sosiokultural atau sosiopolitiknya. Oleh karena itu, jika kita amati banyak hasil pemikiran seseorang yang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini memperkuat alasannya dengan merujuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Dalam konteks usaha mengembangkan sistem ekonomi Islam, kita mencoba melihat sebuah konsep pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk di masa sekarang dan yang akan datang.
Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok–pokok pemikiran ekonomi dari salah satu ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau sangat jauh. Ia hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8 Hijriah, dia memiliki ilmu pengetahuan yang sangat dalam tentang ajaran Islam. Islam masa kini membutuhkan pandangan ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yang adil dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan, kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari'at.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan makalah ini mengenai :
Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan dalam pembahasan makalah ini, bagaimanakah pemikiran ekonomi Islam dari tokoh Ibnu Taimiyah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Singkat Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah yang bernama lengkap Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al- Salam bin Abd Allah bin al-Khidr bin Muhammad bin al-Khidir bin Ali bin Abdullah bin Taimiyah al-Harani al-Damayqi atau Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H), dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali[1]. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadist, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku[2].
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta  menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantarannya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khoir, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al- Kamal bin Abdul Majd bin Asakir. Pada masa mudanya ia mengungsi karena perbuatan suku Mongol, dan tiba di Damaskus bersama orang tuanya pada 1268 M pada waktu itu ia hampir berusia enam tahun. Pada tahun 1282 M ketika ayahnya meninggal, Ibnu Taimiyah menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Guru Besar Hukum Hambali dan memangku jabatan ini selama 17 Tahun[3].
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga di medan perang.
Penghormatan yang lebih besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah  membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qaidah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
Sketsa Setting Politik, Sosial dan Ekonomi pada masa Ibnu Taimiyah
1.   Politik
Sekitar 13 tahun sebelum Ibnu Taimiyah lahir, Dinasti Mamluk membangun kekuasaan di Suriah dan Mesir. Penguasa pertama  dari Dinasti  Mamluk  (1260-1383 M) dikenal dengan nama Bahrite Mamluks. Masa pemerintahan awal dinasti itu bersamaan  dengan  masa  hidup  Ibnu  Taimiyah (1263-1328 M), ketika ia tinggal di Damaskus maupun di Kairo. Baibar menjadi sultan Mesir pada tahun 1260-1277 M. Pada masanya, banyak ulama, ahli hukum tertarik pergi ke Mesir yang menjadi fokus dari per- kembangan dunia Islam  dan  pusat  peng kajian di dunia Islam pada saat itu. Setelah Baibar meninggal dunia, Sultan Nasir Muhammad Qawalun menaiki tahta (1293-1341M). Inilah  masa emas bagi Dinasti Mamluk, Ia memperkenalkan sejumlah pembaruan politik dan ekonomi dan memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Ia sangat menghargai ulama para ulama dan kaum terpelajar. Pada masa ini, Ibnu Taimiyah mampu meraih pengalaman akademik, politik dan ekonomi. Sultan Nasir memberinya kedudukan yang tinggi di antara para ulama, setelah dia dijemput dari penjara akibat sejumlah kesalahpahaman, perbedaan dan perselisihan pendapatnya dengan sejumlah ahli hukum (ulama) yang menentang dirinya dan gagasan-gagasannya[4].
2.   Sosial
Struktur masyarakat Mamluk terbagi dalam beberapa kelas, yakni bangsa Mamluk, yaitu mereka yang seketurunan dengan penguasa, para pemimpin yang menduduki jabatan pemerintahan dan yang ikut berperang. Kaum serbanan (ahl al-imamah), yaitu mereka yang bekerja di sejumlah kantor pemerintahan. Kelas para pedagang dan pengusaha mereka sangat kaya raya karena berkembangnya sektor perdagangan. Kelas  masyarakat  lainnya,  yaitu: para  buruh, perajin, pedagang kecil dan kaum miskin. Mayoritas di antara mereka adalah kaum fallahin (petani dan buruh tani). Kondisi mereka sangat buruk karena menjadi sasaran dari berbagai pungutan pajak yang tak sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat di wilayah itu.
3.   Ekonomi
Orang-orang Mamluk mengetahui bahwa stabilitas dan kesuksesan pemerintahannya sangat tergantung pada kekuatan ekonomi. Oleh karena itu mereka berusaha menggali sumber-sumber kesejahteraan, mengembangkan pertanian, perdagangan dan industri. Sektor pertanian memperoleh prioritas pertama masa itu sebagai  sumber utama kesejahteraan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat pada waktu itu sangat tergantung kepada hasil produksi pertanian. Sejumlah lahan tanah pada masa Dinasti Mamluk didistribusikan kepada para Amir sebagai bentuk iqta (pengganti gaji atau tanah ganjaran) sebagai bentuk hadiah dari pemerintah.[5]
Masa Dinasti Mamluk berkembang berbagai macam jenis industri di Mesir dan Suriah, seperti: industri tekstil, logam, pembangunan kapal, pertukangan. Para sultan memberi kemudahan untuk perkembangan perdagangan domestik. Di setiap kota Mesir dan Suriah memiliki sejumlah pasar. Sedangkan untuk mengembangkan perdagangan luar negeri, para sultan Mamluk membuat perjanjian persahabatan dengan negara-negara Eropa dengan mengembangkan hubungan kerja sama. Untuk pengembangan perdagangan dan industri, lembaga hisbah memiliki peran sangat penting. Tugas utamanya melakukan pengawasan umum, khususnya kegiatan pasar dengan melakukan pengecekan timbangan, ukuran, kualitas barang, menjaga jual beli yang jujur dan menjaga agar harga selalu konstan[6].
Sistem mata uang semasa Dinasti Mamluk menggunakan tiga jenis mata uang, yaitu uang dinar (emas), dirham (perak), dan fulus (tembaga). Uang dinar sangat langka, yang banyak digunakan adalah uang logam dari tembaga. Sirkulasi uang dirham selalu berfluktuasi, kadang langka di pasaran. Secara umum, sistem mata uang selama periode itu memang tidak stabil. Peredaran sejumlah besar mata uang tembaga fulus dan peningkatan proporsi dirham, menghilangkan kepercayaan terhadap mata uang, membuat nilainymerosot dan mendorong terjadinya situasi inflatoar yang terus memburuk[7].
Secara umum, sultan-sultan Mamluk mengenakan pajak atas hasil pertanian, yang terbagi menjadi dua kategori: Pajak atas penggarapan  tanah, dan pajak  atas  kebun buah-buahan, pajak dipungut oleh para muqta‟, terkadang para pejabat kesultanan diberi tanggung jawab untuk memungut pajak. Sistem pemungutan lainnya adalam daman, di mana damin (penjamin) membayar sejumlah uang jaminan, tak peduli apakah hasil yang diperoleh dari penduduk nanti meningkat atau menurun. Ada sejumlah diwan (departemen) yang menangani berbagai pungutan pajak dan keuangan. Misalnya: diwan al-rawatib, diwan al-said, diwan al-jawali wal-mawarith al-hasriyah, diwan al-kharaj, diwan al-hilali. Sebagai pusat koordinator dari diwan-diwan tadi adalah Baitul Mal. Ada istilah lain, misalnya diwan al-nazar atau diwan nazar al- dawamin, yang secara bergantian merupakan bentuk lain dari Baitul Mal yang merupakan menteri keuangan. Seluruh rekening pendapatan dan pembelanjaan pemerintah diatur oleh departemen ini. Pendapatan dari kharaj diprioritaskan untuk pengeluaran militer, membiayai keluarga kerajaan, pemerintahan raja, para menteri, gubernur, wazir, hakim, pengawas diwan, akuntan, para penulis, penyediaan pelayanan umum seperti: dam, kanal, sekolah dan rumah sakit menjadi tanggungjawab pemimpin departemen anggaran pembelanjaan umum[8].
Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang masalah ekonomi sangat jelas. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan, kecuali apa yang secara tegas dilarang oleh syari‟at. Dalam batasan larangan syari‟at itu, semua orang  mengetahui hal  itu demi kebaikan bagi mereka dan mereka bebas melakukan transaksi, membuat kontrak atau mengerjakan berbagai masalah keduniaan  dengan cara yang adil dan jujur. Hal ini mengikuti doktrin Islam pokok dari tauhid dan secara wajar mementingkan keadilan. Berkaitan dengan keadilan ini, beliau menulis, “Keadilan berkait dengan tauhid dan tauhid merupakan fondamen dari keadilan. Inilah yang memberikan keunggulan berkaitan dengan korupsi, yang merupakan dasar dan fondasi dari ketidakadilan.

B.     Hasil Karya Ibnu Taimiyah
Hasil karya pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah seperti Majmu Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syariyyah  fi Ishlah Ar-RaI wa Ar- Raiyah,serta Al-Hisbah fi Al-Islam. Selain karya tersebut Ibnu Taimiyah mengarang bukmencapai tiga ratus jilid, antara lain Iqtifa Al-Sirat Al-Mustaqim wa Mukhalaf as-Hab Al-jalum, Fatwa Ibnu Taimiyah, Al- Sarim Al-Maslul Al-Syatim Al-Rasul, Al- Sarim Al-Maslul fi Bayan Wajibat Al- Ummah Nahwa Al-Rasul, al-Jawab Al-Sahih li Man Baddala Din Al-Masih dan sejumlah buku lain di bidang fiqih[9].

C.     Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya  tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.[10]
1.   Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan harga yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqaha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil.
2.    Mekanisme Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu[11].
Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/ adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/ adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”.[12]
a.    ‘Iwad al-mitsl adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan.
b.   Tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
3.   Mekanisme pasar                                                                  
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply). Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan  dan penawaran dinamakan equilibrium price (harga seimbang)[13].
Ibnu Taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan;
naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun,harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun,harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia”[14].       
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar[15]. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malapraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.   
Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persedian, yakni produksi lokal dan impor barang-barang yang diminta (mayukhlaq aw yujlab Min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang di sebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor[16].
Pernyataan Ibnu Taimiyah  diatas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.[17]
Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai),atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[18]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas tampaknya menggambarkan perubahan secara terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhnya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan, karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya permintaanNaiknya harga karena jatuhnya supply atau naiknya permintaan, dalam kasus itu dikarakteristikkan karena Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan kondisi alamiah yang impersonal.
Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut :[19]
a.    Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (people’s desire) terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce) daripada yang banyak jumlahnya.
b.   Tergantung kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/ consumer/ tullab). Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.
c.    Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.
d.   Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (credibel) dalam membayar kewajibannya, maka ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah.
e.    Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.
f.    Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara kedua belah pihak
g.   Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
4.   Regulasi harga
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi kebutuhan pokoknya.[20]
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.[21] Selain itu, dapat pula memaksaan penduduk menjual  barang-barang dagangan tanpa dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang; Penetapan harga yang adil dan sah yakni penetapan harga yang saat pemerintah memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Dalam menetapkan harga, tingkat tertinggi dan terendah bisa ditetapkan, sehingga kepentingan dua pihak, penjual dan pembeli terlindungi. Ibnu Taimiyah tidak menyukai kebijakan penetapan harga oleh pemerintah, jika kekuatan pasar yang kompetitif bekerja dengan baik dan bebas. Ia merekomendasikan kebijakan penetapan harga, dalam kasus terjadi monopoli dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar.
Pada kondisi terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.[22]
Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif, dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna. Ibnu Taimiyah merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang normal, padahal orang-orang membutuhkan barang ini, maka penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen. Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga yang adil. Lebih jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), maka pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.[23]
Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat dengan hal itu.[24]
Jadi jelas bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sangat memperhatikan keadaan pasar, bagaimana sikap perintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun menetapkan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah dianjurkan untuk mengadakan pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun syarat dan ketentuan juga dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam mengadakan pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga, harus dilakukan dengan musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyepakati dari hasil musyawarah tersebut.
Dalam kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam menghadapi manipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar. Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha mikro dari kehancuran.[25]
a.    Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
b.   Musyawarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait. Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan  menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah disinggung  jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka.
5.   Uang dan Kebijakan Moneter
Fungsi uang menurut Ibnu Taimiyah sebagai alat tukar  dan  alat  ukur  dari  nilai suatu benda, melalui uang itu dari sejumlah benda diketahui nilainya. Mengenai kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintah harus  mencetak mata uang yang sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman  didalamnya.  Dan  juga  para penguasa jangan mempelopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian mencetaknya menjadi mata uang koin, bahkan  pemerintah  harus  mencetak  mata uang dengan harga yang sebenarnya tanpa bertujuan mencari keuntungan apapun dari pencetakannya agar kesejahteraan publik terjamin.[26]
a.    Karakteristik dan Fungsi Uang
 Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan, Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.

b.   Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia menyatakan,Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlah mata uang, total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang, misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
c.    Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:  “Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nlai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa lagi ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur[27].
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diberlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan pada pembahasan materi sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa :
Ulama-ulama klasik Islam tidak hanya berkutat pada agama dalam arti sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada masalah perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi konvensional modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam). Ibnu Taimiyah bukanlah seorang teoritis murni, juga bukan ahli sejarah ekonomi murni. Sikapnya lebih seorang dokter praktik yang mendiagnosa penyakit dan memberikan resep untuk mengobati, berikut pemikiran Ibnu Taimiyah :
1.      Menurut Ibnu Taimiyah penetapan harga oleh pemerintah adalah baik, tapi tidak bersifat absolut, karena sebenarnya harga ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Lain halnya, apabila kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan mekanisme pasar, pemerintah boleh campur tangan dalam menetapkan harga.
2.      Teori Ibnu Taimiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taimiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik. Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi (medium of exchange for transaction) dan sebagai satuan nilai (unit of account). Semua kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang, karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang, karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada kenaikan harga-harga produk.




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi., Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Afzalurrahman., Doktrin Ekonomi Islam, PT. Dhana Bakti Wakaf, Jogyakarta, 1995
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga  Kontemporer,  Jakarta: Pustaka Asatrus. 2005
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran  EkonomIslam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Ibrahim Abu Sinn, Ahmad., Manajemen Syariah, terj. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
Islahi, Abdul Azim. 1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyah. London: Islamic Foundation.
------------------------- Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (terj) Anshari Thayib. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
Karim, Adi Warman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT Indonesia. 2002.
------------------------------- Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2006
Misanan, Munrokhim. dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII).
Mujahidin, Ahmad. Ekonomi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Sudarsono, Heri., Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonosia, 2004.


[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonosia, 2004, h. 154
[2] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006, Ed. 3., h. 351.
[3] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, Cet. 1., h, 230.
[4] Abdul Azim Islahi,. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (terj) Anshari Thayib. Surabaya: PT. Bina Ilmu.,1997, h. 15-18
[5] Ibid., h. 29-35
[6] Ibid., h. 36-41
[7] Ibid., h. 42-44
[8] Ibid., h. 51-53
[9] Nur Chamid, Op.,Cit.h. 230
[10] Ibid
[11] Euis Amalia, Op.cit., h. 167
[12] Ibid.
[13] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, Cet.1, h. 163-164.
[14] Ibid
[15] Ibid., h. 164-165
[16] Adiwarman Azwar KarimOp.Cit., h. 364-365
[17] Ibid. h. 365
[18] Ibid.
[19] Munrokhim Misanan dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII), h. 155-156.
[20] Adiwarman Azwar KarimOp.cit., h. 172
[21] Ibid., h. 368
[22] Nur ChamidOp.cit., h. 236  
[23] Munrokhim Misanan dkkOp.cit., h. 161
[24] Ibid., lihat juga dalam, Euis Amalia, Op.cit., h. 175
[25] Euis Amalia, Ibid., h. 175-176
[26] Abdul Azim Islahi,. Op.Cit., h. 139-142
[27] Abdul Azim Islahi,. Op.Cit., h. 143

No comments:

Post a Comment