Wednesday, 8 November 2017

Usaha Produktif Fakir Miskin Dan Upaya Pendampingannya

 A. PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan secara berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan merata. Hasil dari pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap diharapkan dapat memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, meskipun hasil kegiatan pembangunan belum dapat menghilangkan masalah kemiskinan secara menyeluruh.
Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan di Indonesia menunjukkan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan dan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia. Oleh karena itu, Kementerian Sosial menerapkan beberapa program penguatan ekonomi kerakyatan dengan strategi mendorong kemandirian usaha-usaha kelompok masyarakat, disamping itu juga sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan. Wujud kegiatan ini adalah pengembangan kelompok usaha bersama yang merupakan program asistensi kesejahteraan sosial keluarga sebagai salah satu upaya pemberdayaan usaha produktif rakyat termasuk bagi mereka yang kurang mampu (fakir miskin).  
Materi pada pembahasan ini tentang upaya pendampingan yang dilakukan oleh instansi pemerintah terkait usaha produktif yang dilakukan oleh fakir miskin yang ada di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan pemahaman mengenai upaya pendampingan terhadap usaha produktif fakir miskin di indonesia.

1.   Usaha produktif jenis apakah yang lebih efektif dan efisien diterapkan oleh para fakir miskin?
2.   Bagaimanakah bentuk upaya pendampingan usaha produktif fakir miskin?




B.  PEMBAHASAN
1.   Usaha Produktif
a.    Pengertian
Usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu.[1]
Usaha adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada allah swt.[2] Upaya adalah usaha; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya).[3]
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٠٥ (التّوبة : ۱۰۵)
Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS : At-Taubah : 105)[4]
Ayat diatas pada dasarnya memerintahkan semua dan setiap orang untuk berusaha, termasuk usaha ekonomi. Semua dan setiap usaha, pasti akan diketahui oleh Allah, Rasulullah, dan orang-orang beriman secara keseluruhan. Semua dan setiap usaha dipastikan akan menuai pembalasan/ hasilnya, dan yang berhak memberikan pembalasan atau imbalan itu adalah Allah SWT yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghoib di samping hal-hal yang tampak.[5]
Sedangkan produktif adalah bersifat atau mampu menghasilkan (dalam jumlah besar); mendatangkan (memberi hasil, manfaat, dan sebagainya); menguntungkan[6]
Jadi, usaha produktif adalah semua bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan hasil atau keuntungan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

b.   Jenis-Jenis Usaha di Indonesia
Jenis usaha perekonomian yang berkembang di Indonesia menurut kelembagaannya ada dua yakni usaha informal dan usaha non formal. Jenis-jenis usaha berdasarkan bidang usahanya terdiri dari :
1)   Usaha yang bergerak di bidang agraris; merupakan salah satu jenis usaha yang aktivitas atau kegiatannya difokuskan pada pengolahan hasil alam  atau sumber daya alam yang ada dengan tujuan untuk memberikan sumbangsih berupa manfaat yang lebih dari sebelumnya kepada masyarakat. Contohnya : pertanian, perkebunan dan peternakan
2)   Usaha yang bergerak di bidang perdagangan;  salah satu kegiatan ekonomi yang berfokus pada transaksi barang maupun jasa dan bisa disebut dengan jual beli. Contohnya : jual beli online, jual beli saham, dan lainnya
3)   Usaha yang bergerak di bidang perindustrian, suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan.  Contohnya : industri elektronik, ekspedisi, transportasi dan lainnya.
4)   Usaha yang bergerak di bidang jasa, jenis usaha yang menawarkan ilmu atau keahlian tertentu kepada konsumen. Contohnya : tambal ban, doktor lainnya
5)   Usaha yang bergerak di bidang ekstraktif; bergerak di bidang usaha penggalian, pengambilan, atau pengolahan kekayaan yang disediakan alam. Hasil yang diambil dari alam tidak diolah atau tidak diusahakan sebelumnya. Contohnya : penambangan emas, minyak bumi dan lainnya.

2.   Fakir Miskin
a.    Pengertian
Sesungguhnya dalam merumuskan pengertian fakir dan miskin terjadi perbedaan pendapat para fuqaha dalam mendefinisikan kedua kata tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam bahasa Arab kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang kata masakin ialah bentuk jama’ dari miskin yang menurut bahasa diambil dari kata sakana yang artinya menjadi diam atau tidak bergerak karena lemah fisik atau sikap yang sabar dan qana’ah.[7]
Dirumuskan bahwa miskin ialah barang siapa yang memiliki harta benda atau mata pencaharian tetap, hal mana salah satunya (harta/ mata pencaharian/ keduanya), hanya menutupi tidak lebih dari kebutuhan pokoknya.[8]
Sedangkan fakir ialah orang yang menghajati pertolongan, yang perlu ditolong dalam menyelenggarakan keperluan hidupnya sehari-hari yang tak dapat tidak, untuk keperluan hidupnya.[9]
Kemudian menurut jumhur ulama, fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa atau hanya memiliki kurang dari separuh kebutuhan diri dan tanggungannya, sedangkan orang miskin adalah mereka yang memiliki separuh kebutuhannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi.[10]
Sementara itu para ulama baik sahabat atau tabi’in berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan lafadh al-masakin dalam surat at-Taubah ayat 60: 
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠ (التّوبة : ۶۰)
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS: At Taubah :60)
Kata miskin pada ayat di atas diartikan sebagai orang yang mempunyai sesuatu tetapi kurang dari nishab, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka atau orang-orang yang memiliki harta tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri tanpa ada bantuan.[11]
 Ibnu Abbas menyatakan lain kata al-masakin diartikan orang yang keluar rumah untuk meminta-minta.[12] Hal serupa juga diungkapkan oleh Mujahid, lebih lanjut ia menyatakan bahwa al-masakin adalah orang yang meminta. Ibnu Zaid dalam menafsirkan al-masakin diartikan orang-orang yang meminta-minta pada orang lain. Sedangkan menurut Qatadah al-masakin adalah orang yang sehat (orang yang tidak mempunyai penyakit) yang membutuhkan.[13]
Perbedaan pendapat yang terjadi antara para ulama mengenai fakir dan miskin diantaranya yaitu :
1)   Menurut Madzhab Hanafi, orang fakir adalah orang yang memiliki usaha namun tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan orang miskin tidak memiliki mata pencaharian untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Jadi keadaan orang fakir masih lebih baik daripada orang miskin.[14]
2)  Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta setengah dari kebutuhan hidupnya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
3)  Ibnu Al-Arabi berpendapat sama saja  antara fakir dan miskin yaitu orang yang tidak mempunyai apa-apa. Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Maliki juga berpendapat demikian.[15]
4)  Sementara itu Masdar F. Mas’udi mengatakan bahwa miskin menunjuk pada orang yang secara ekonomi lebih beruntung daripada si fakir. Tetapi secara keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya.[16]
5)   Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
6)   Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.[17]
7)   Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.
8)   Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
9)   Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[18]
Hadis tentang orang miskin yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ اْلمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِيْ يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ قَالُوا فَمَا اْلمِسْكِيْنُ يَارَسُولَ اللهِ قَالَ الَّذِيْ لاَ يَجِدُغِنًى يُغْنِيْهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا  (رواه مسلم)
Artinya :”Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda : Orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir kurma.” Para sahabat bertanya : “kalau begitu seperti apakah orang yang miskin itu?” Beliau menjawab :”orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun keadaannya itu tidak diketahui orang supaya bersedekah padanya, dan tidak pula meminta-minta ke sana ke mari.”(HR. Muslim)[19]
Demikian pula apa yang dikatakan Imam Khatabi, hadits ini menunjukkan bahwa arti miskin yang tampak dan dikenal mereka ialah peminta-minta yang berkeliling. Rasulullah SAW menghilangkan sebutan miskin bagi orang yang tidak meminta-minta, karena itu berarti sudah berkecukupan. Maka dengan demikian gugurlah sebutan miskin itu bagi dirinya. Sedang yang meminta-minta mereka berada dalam garis kebutuhan dan kemiskinan, dan mereka itu harus diberi bagian.[20]
Jadi, berdasarkan bunyi hadis diatas dapat dikatakan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak mampu menutupi sebagian kebutuhan hidupnya tetapi ia tenang, tidak meminta-minta. Sedangkan fakir adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan ia ketergantungan terhadap pertolongan orang lain.

b.   Kriteria/ Kategori Fakir Miskin
Berdasarkan KEPMENSOS No. 146/HUK/2013[21], kriteria/ kategori fakir miskin dan orang tidak mampu terdiri dari dua kategori yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu yang teregister dan yang belum teregister. Fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang teregister antara lain yaitu :
1)      Tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/ atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar;
2)      Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana;
3)      Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi Pemerintah;
4)      Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga;
5)      Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat  Pertama;
6)      Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/ kayu/ tembok dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/ berlumut atau tembok tidak diplester;
7)      Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/ semen/ keramik dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah;
8)      Atap terbuat dari ijuk/ rumbia atau genteng/ seng/ asbes dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah;
9)      Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran;
10)  Luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m2 / orang; dan
11)  Mempunyai sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/ air sungai/ air hujan/ lainnya.
Sedangkan fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum teregister terdapat di dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial maupun di luar Lembaga Kesejahteraan Sosial. Lembaga Kesejahteraan Sosial yang dimaksud meliputi : Panti Sosial; Rumah Singgah; Rumah Perlindungan Sosial Anak; Lembaga Perlindungan Sosial Anak; Panti/ Balai Rehabilitasi Sosial; Taman Anak Sejahtera atau Tempat Penitipan Anak Miskin; Rumah Perlindungan dan Trauma Center, dan nama lain yang sejenis.
Kemudian bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yang berada di luar Lembaga Kesejahteraan Sosial terdiri atas : Gelandangan; Pengemis; Perseorangan dari Komunitas Adat Terpencil; Perempuan Rawan Sosial Ekonomi; Korban tindak Kekerasan; Pekerja Migran Bermasalah Sosial; Masyarakat Miskin Akibat Bencana Alam; Perseorangan Penerima Manfaat Lembaga Kesejahteraan Sosial; Penghuni Rumah Tahanan/ Lembaga Pemasyarakatan; Penderita Thallasemia Mayor; dan Penderita Kejadian Paska Imunisasi (PKPI).
Menurut Edi Suharto terdapat tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial[22], yaitu:
1)   Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2)   Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.
3)   Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Strategi pekerjaan sosial dalam menanggulangi kemiskinan adalah peningkatan kemampuan individu dan kelompok dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan statusnya.

3.   Upaya Pendampingan kepada Fakir Miskin
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, maka diperlukan peningkatan pembangunan yang dapat menopang kesejahteraan seluruh rakyatnya. Tujuan pembangunan dapat saja terwujud apabila pemerintah dan masyarakat bersinergi bekerjasama dalam proses pembangunan. Setiap warganya turut serta dalam proses pembangunan dimana kita menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan dan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia. Sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik dan program pengentasan kemiskinan dapat terealisasikan.
Negara memiliki tanggungjawab yang besar terhadap kesejahteraan rakyatnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 UU 1945 yang berbunyi : fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara”. Selain itu dijelaskan pula lebih terperinci mengenai penanganan fakir miskin dalam UU No. 13 Tahun 2011 tentang penanganan Fakir Miskin. Pemerintah bertanggungjawab menangani fakir miskin tidak hanya sebatas kebutuhan sandang pangan maupun layanan kesehatan lainnya, tetapi negara ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan potensi diri dan pemberdayaan kemampuan atau keterampilan yang di miliki oleh warganya.   
Salah satu upaya dalam program pemberdayaan manusia Indonesia dengan pengentasan kemiskinan yakni dengan cara pendampingan usaha produktif fakir miskin yang ada di berbagai daerah di Indonesia misalnya upaya pemberdayaan masyarakat miskin dengan pembentukan kelompok usaha bersama, penyaluran dana zakat produktif kepada para mustahiq dan kegiatan sejenis yang lainnya.
Berikut tahapan strategi yang harus dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
a.    Membantu masyarakat dalam menemukan masalahnya.
b.   Melakukan analisis (kajian) terhadap permasalahan tersebut secara partisipatif. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan cara curah pendapat, membentuk kelompok-kelompok diskusi, dan mengadakan pertemuan warga secara periodic (terus-menerus).
c.    Menentukan skala prioritas setiap masalah dalam arti memilih dan memilah masalah yang paling mendesak untuk di selesaikan.
d.   Mencari penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat.
e.    Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
f.    Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan itu untuk dinilai sejauh mana keberhasilan dan kegagalannya.[23]
Adapun tahapan upaya pemberdayaan fakir miskin terhadap pengembangan usahanya antara lain dapat dilakukan dengan :
a.    Pendampingan dan pemotivasian. Upaya pendampingan ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memantau sejauh mana usaha yang dibangun bersama rakyat/ fakir miskin tersebut berkembang. Hal ini dimanfaatkan pula untuk memberikan motivasi untuk terus berusaha mengembangkan usahanya. Pendampingan sosial ini terdapat empat fungsi yakni :
1)      Pemungkinan atau fasilitasi,
2)      Penguatan (empowering),
3)      Perlindungan (Protecting), dan
4)      Pendukungan (Supporting).
b.   Pembinaan. Pada tahap ini pemerintah memberikan pembinaan/ pemberian bekal ilmu pada waktu tertentu dengan mendatangkan narasumber yang berkompenten terkait usaha yang sedang mereka kembangkan.
c.    Pelatihan. Tahap ini dilakukan untuk memberikan ilmu tambahan bagi para peserta maupun masyarakat sekitarnya.





C.    KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan pada pembahasan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan antara lain yaitu :
1.   Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut pemakalah usaha produktif yang lebih baik diterapkan oleh fakir miskin mengingat yakni jenis usaha agraris seperti berternak, bertani, bercocok tanam dengan media yang ada, jasa angkutan, berniaga dengan pertimbangan menyesuaikan keadaan.
2.   Bentuk upaya pendampingan fakir miskin dengan memberikan motivasi, arahan, diantaranya dengan upaya pemungkinan atau fasilitasi, memberikan penguatan (empowering), perlindungan (Protecting), dan Pendukungan (Supporting). Setelah itu diberikan pembinaan, dan pelatihan terkait usaha yang mereka laksanakan.




DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2006
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang, CV. Toha Putra, 1995
F. Mas’udi, Masdar, Menggagas Ulang Zakat, Bandung, Mizan, 2005
Gazalba, Sidi Ilmu Islam2: Asas Agama Islam, cet 2, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985
Hadis Shahih Muslim No. 1722. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android Version
Hasan, M. Ali, Zakat dan Infaq, Jakarta, Kencana, 2006
Huraerah, Abu, Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat. Model Dan Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat. Bandung : Humaniora, Penerbit Buku Pendidikan – Anggota IKAPI. 2008.
Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam. Lihat di https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/27/tafsir-qs-at-taubah-60/
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Online Version), oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud ( Pusat Bahasa), http://kbbi.web.id/usaha
Lihat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 146/HUK/2013 (online version) https://www.slideshare.net/IdnJournal/kepmensos-no-146-tahun-2013
K. Berten, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kansisius, 2000
Mas’ud, Muh. Ridwan, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: UII Press, 2005
Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat, Jakarta: Lintera Internusa, 2002
----------------------,  Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan,  Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Rahman, Fazlur, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 2009
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat dan Pemberdayaan Rakyat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006
Suma, Muhammad Amin, Tafsir Ayat Ekonomi. Cet. Pertama, Jakarta: Amzah. 2013.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1995



[1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Online Version), oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud ( Pusat Bahasa), http://kbbi.web.id/usaha diakses 30 Oktober 2017
[2] Berten K., Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kansisius, 2000. h. 1
[3] Op.Cit., http://kbbi.web.id/upaya
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang, CV. Toha Putra, 1995,  h. 564
[5] Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi. Cet. Pertama, Jakarta: Amzah. 2013. h. 61-62
[6] Op.Cit., https://kbbi.web.id/produktif
[7] Sidi Gazalba, Ilmu Islam2: Asas Agama Islam, cet 2, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985, h. 134.
[8] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1995, h. 163.
[9] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2006, h. 168
[10]Yusuf Qardhawi,  Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan,  Jakarta: Gema Insani Press, 1995, cet. 1, h. 115.
[11] Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf, 2009, h. 295.
[12] Ibid., h. 203
[13] Ibid., h. 204
[14] M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq, Jakarta, Kencana, 2006, h. 95.
[15] M. Ali Hasan., Op.Cit., h. 96
[16] Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat, Bandung, Mizan, 2005, h. 115.
[17] .Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam. Lihat di https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/27/tafsir-qs-at-taubah-60/
[18] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah. Lihat di https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/27/tafsir-qs-at-taubah-60/
[19] Hadis Shahih Muslim No. 1722. Ensiklopedi Hadits 9 Imam, www. dar-us-salam.com, addararu tsaniyah. Android Version
[20] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Jakarta: Lintera Internusa, 2002, cet. 6, h. 513.
[21] Lihat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 146/HUK/2013 (online version) https://www.slideshare.net/IdnJournal/kepmensos-no-146-tahun-2013 diakses 30 Oktober 2017.
[22] Edi Suharto, Membangun Masyarakat dan Pemberdayaan Rakyat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 148-149
[23] Abu Huraerah, Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat. Model Dan Strategi Pembangunan Berbasis Masyarakat. Bandung : Humaniora, Penerbit Buku Pendidikan – Anggota IKAPI. 2008.h. 88

No comments:

Post a Comment